KULIAH MADDIN
“Bagaimana, Jadi Kang?” tanyaku penuh pengharapan.
“Tenang, sudah siap semua. Sekarang siapkan photocopy
ijazahmu yng sudah dilegalisir mulai MI sampai SMA.”
“Ok, saya pulang dulu. Nanti saya kabari lewat sms, Kang!
Assalamu’alaikum..” Aku ngeloyor pergi dengan wajah sumringah.
“Wa’alaikumussalam, Oh ya, jangan lupa buat SKCK
sekalian.” Pesan Kang Taufik yang
membuatku menoleh ke belakang dan mengacungkan jempolku.
Aku pergi meninggalkan kantor pesantren. Kembali kerumah
lalu mengacak-acak beberapa dokumen yang sudah lama disimpan. Dokumen yang
ternyata sekarang sepertinya akan berguna.
Legalisir-legalisir yang dimaksud Kang Taufik sudah
kupegang. Kuhitung kembali, ternyata masih kurang satu.
Drrt… drrt…
Tanpa aba-aba tanganku segera merogoh saku baju kokoku.
Kuambil HP yang tengah bergetar.
“Halo Assalamu’alaikum…” sapaku sambil menempelkan
Handphoneku yang jadul ketelinga.
“Wa’alaikumussalam, bagaimana? Sudah lengkap?”
“Wah, kurang satu Kang. Yang dari PKBM nggak ada. Giamana
iki?”
“Oh, Ya udah aku kerumah sampeyan sekarang.”
“Ok, Kang.”
Tut.. tut… kukembalikan Handphone ke tempat semula.
***
“Tesnya dua hari lagi, jadi waktu untuk mempersiapkan
semuanya tinggal besok. Soal kekurangan yang dari PKBM biar aku yang urus.
Kebetulan aku besok mau ke Banyuwangi, sekalian aku carikan legalisirmu itu.”
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Kang Taufik.
“Besok kamu cari SKCK saja ke Polsek Pedotan. Waktunya
mepet, karena besok hari Jum’at.”
“Iya, Kang.” Aku menarik nafas, membayangkan apa yang harus
kulakukan besok. Sekedar membuat SKCK tidaklah sulit. Yang membuatku malas
adalah berurusan dengan polisi. Yang kutahu, polisi itu suka membentak-bentak,
lebih-lebih kepada orang dusun dan kurang berpengalaman seperti aku. Namun aku
maklum saja, menjadi orang yang kurang berpendidikan sepertiku memang
seringkali jadi makanan empuk bagi mereka yang punya kekuasaan. Ah ironisnya
negeriku. Negeri yang kucintai dengan segenap tumpah darahku.
“Eh, Halo… Malah ngelamun. Aku pamit dulu…” Kang Taufik
sudah mengulurkan tangannya.
“Kok buru-buru, to Kang…!”
“Wong sudah dari tadi, kok. Assalamu’alaikum..”
Aku mengantar Kang Taufik sampai kedepan pintu. Setelah itu
merapikan kembali dokumen-dokumen yang tadi kuacak-acak.
Kang Taufik begitu bersemangat membantuku agar bisa masuk bangku
perkuliahan. Malu, kalau justru aku yang tidak bersemangat. Harapan untuk bisa
kuliah memang pernah mendarah daging beberapa tahun lalu. Namun ketika semuanya
tidak terealisasi. Kekecewaan itupun juga mendarah daging.
Aku mengelus kepalaku sambil merebahkan badan, merenungkan
kejadian-kejadian yang telah kualami. Kali ini ada kesempatan masuk kuliah,
lewat jalur beasiswa Maddin (Madrasah Diniyyah) program yang diadakan Pak
Karwo, Gubernur Jatim. Kalau aku bisa lulus tes, maka aku tidak perlu memikirkan
biaya kuliah. Karena semuanya akan gratis total.
Di sisi lain, aku sudah berumur. Sudah punya istri dan anak.
ekonomi yang belum mapan, pekerjan yang masih semrawut. Di usiaku yang
sekarang, teman-teman yang lain sudah pada lulus S2.
Sementara aku, S1 saja
masih mau mendaftar. Alangkah tertinggalnya aku.
Namun, kesempatan tidak datang dua kali. Istriku juga sudah
setuju andaikan aku mengikuti perkuliahan ini.
“Bismillah, niat ingsun bibinau. Niat mencari ilmu.”
Kutetapkan niat dalam hati.
***
Pukul satu siang, aku sudah berada di STAI Ibrahimi, Genteng
Banyuwangi. Di Sekolah tinggi inilah aku akan kuliah. Jam dua siang nanti tes
dimulai. Masih ada waktu satu jam.
Aku membuka kitab Taqrib yang kubawa. Menurut Kang Taufik,
yang akan diteskan adalah membaca kitab Taqrib yang bersih. Kitab kuning tanpa makna.
Menyesuaikan para pesertanya, karena rata-rata pesertanya adalah lulusan
pesantren.
Satu jam berlalu, dimulailah tes yang mendebarkan itu. Aku
merasa persiapanku belumlah cukup. Materi nahwu shorof sudah ambyar di otakku.
Ketika tiba giliranku, aku berjalan masuk ruangan dengan
langkah agak ragu-ragu. Kepercayaan diriku hanya tinggal 50%. Bagaimana nanti
kalau ditanya tentang Shiyahul Kalam, bagaimana kalau nanti ditanya tentang Isim Jamid.
Kubaca Bismillah di dalam hati ketika sudah duduk di depan
penguji. Kemudian aku memperkenalkan diri.
“Silahkan dibuka Bab Nikah.” Perintah penguji setelah
sedikit berbasa-basi.
Aku membukanya, “benar-benar bersih kitab ini.” Fikirku.
Harokat gak ada, apalagi arti. Untung masih ada titiknya. Cerita temanku yang
kuliah di Al-Azhar Mesir, ujian terakhirnya membaca kitab kuno yang tulisannya
masih belum ada titiknya. Apalagi harokatnya. Jadi tidak bisa membedakan antara
huruf Ba’, Ta’ dan Tsa’. Aku menenangkan diri, tentu yang kuhadapi ini lebih
mudah.
“Coba baca baris ini..” Jari penguji menunjuk baris yang
agak bawah dari halaman kitab yang aku buka.
“Bab Thalaq.” Aku mendongak, meminta penegasan pada penguji.
Beliau mengangguk. Aku membacanya dengan terbata-bata sampai
penguji meminta berhenti.
Kemudian aku diminta menjelaskan apa yang kubaca tadi, lalu
beliau menanyaiku beberapa kaidah nahwu dan shorof. Baru kusadari ada beberapa
kesalahan bacaan yang aku lakukan.
Hari beranjak sore ketika tes selesai. Aku pulang setelah
shalat Ashar.
***
Dua kali sudah masuk ruangan ini. Sejak tes pertama beberapa
hari lalu, baru hari ini aku datang kembali ke STAI Ibrahimi untuk melakukan
tes kedua. Masih sama, membaca kitab kuning. Hanya saja pengujinya yang beda.
Untuk tes kedua ini pengujinya datang dari Departemen Agama Banyuwangi.
Semula aku mengira pasti akan lebih sulit untuk tes kedua
ini, namun ternyata justru lebih mudah. Kujalani tes tanpa banyak berdebar.
Setelah selesai, aku pulang kembali ke Sukorejo. Desa dimana aku dilahirkan,
desa dimana Pondok pesantren yang mengantarku mendaftar untuk beasiswa maddin
ini berdiri. Pondok pesantren Darul Abror Sukorejo.
I Love You Sukorejo.
#Cerita terlintas begitu saja setelah mid semester kemarin.
Sukorejo, 27 November 2014
Sukorejo, 27 November 2014
Post a Comment for "KULIAH MADDIN"