Part 13 (Ayah)
Nurul meminta
maaf, andai dia menepati janjinya menunggu di depan. Tentu Ibu Shofiyah tidak
perlu bertanya-tanya pada petugas jaga RS tentang keberadaan suaminya, Bapak
Mahali yang menjadi korban kecelakaan.
“Bagaimana
keadaan Zahra, Rul?” Suara Ibu Shofiyah begitu lirih ketika bertanya pada
Nurul.
“Sudah mulai
membaik, Bu, tadi Zahra menanyakan ayahnya dan Ibu.”
Ibu Shofiyah
tidak merespon jawaban Nurul. Pandangannya kosong. Mungkin memang begitu berat
beban yang dipikul. Pelan-pelan istri Pak Mahali itu mengambil sebuah tisu dari
dalam tas yang sejak tadi ada dipangkunya. Kemudian dengan tisu itu bBu
Shofiyah menyeka air mata yang mulai merembes di sudut matanya.
“Sabar ya, Bu,
Nurul siap membantu apapun sebisa Nurul.”
“Iya, nak,
terimakasih. Alhamdulillah untung ada kamu, Zahra jadi ada temannya.”
Meski sedang
sangat bersedih, Ibu Shofiyah berusaha untuk tetap tenang dan tegar. Kesedihan
yang mengiris hatinya disembunyikan dalam-dalam di balik tutur katanya. Meski
usahanya tidak sepenuhnya berhasil, tapi sudah cukup membuat Nurul kagum dengan
kepribadiannya. Masih ada kata Alhamdulillah yang terucap dari seorang
wanita yang sedang ditimpa ujian yang mendera.
Ibu Shofiyah
meminta Nurul untuk mengantarkannya ke ruangan di mana Zahra dirawat. Dia
berpesan agar Nurul tidak menceritakan dulu kepada Zahra apa yang terjadi,
dengan harapan Zahra segera membaik tanpa ada tekanan. Nurul mengangguk tanda
mengerti. Lalu keduanya meninggalkan Bapak Mahali yang sedang tidak sadar
sendirian di ruangannya.
Zahra yang
sedang tergeletak lemas berusaha bangun dan duduk ketika Ibunya datang, sambil
mengucapkan salam Zahra segera meraih tangan kanan ibunya dan mengecupnya.
Zahra tersenyum dan membuang wajah sedihnya, berusaha agar sakitnya tidak
terlalu menjadi beban buat wanita yang sangat dicintainya. Wanita yang membawa
surganya di telapak kakinya. Wanita, yang ridho dan murka Allah Tuhan semesta
alam menggantung padanya. Wanita, yang di dalam dadanya sudah tersedia selaksa
maaf untuk kesalahan-kesalahan yang meski belum pernah dilakukan Zahra. Wanita,
yang kasihnya kepada Zahra tak terhingga sepanjang masa.
“Ayah tidak
kesini, Bu?”
Spontanitas
yang keluar dari bibir Zahra adalah sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang langsung
meresap kedalam relung hati Ibu Shofiyah.
“Ayah pasti
kesini, kamu cepat sembuh ya, latihan yang kuat seperti Nurul ini, lo.” Ibu
Shofiyah tersenyum tipis sambil menunjuk Nurul yang juga ikut duduk di
sebelahnya.
“Zahra kangen
sama ayah. Oh iya, Bu, Zahra dan Nurul ini belum makan lo sejak tadi siang,
kami baru makan tadi pagi di pesantren.”
“Lo kenapa
tidak beli, apa kantinya tutup?”
“Tidak Bu, saya
tidak membawa uang, terus dompet Nurul juga ketinggalan di pesantren.” Zahra
menjelaskan.
“Ya Allah, kamu
kok ya diam saja to, Rul, ini segera beli makanan di kantin belakang itu.
Jangan lupa minumnya, camilannya juga” Dengan cepat Ibu Shofiyah mengambil uang
seratus ribuan dari tasnya dan mengulurkannya pada Nurul. Nurul pun segera
beranjak ke kantin belakang di sebelah timur.
Akhirnya rasa
lapar itu terobati juga setelah Nurul kembali dengan makanan di tangannya. Mereka
bertiga makan bersama. Makan di waktu lapar memang sungguh nikmat, apalagi
bersama dengan orang-orang tercinta. Andai saja ada Bapak Mahali juga ikut
serta, pasti makin lengkap kebahagiaan Zahra meskipun hanyalah nasi bungkus
menunya.
Malam terus
beranjak semakin larut, udara dingin merayap dan turun ke bumi, RS Al-Huda pun
semakin dingin, sedingin perjalanan hidup Zahra yang semakin rumit.
Zahra telah
tertidur pulas di atas ranjangnya, sementara Ibu Shofiyah berpindah menggelar
tikar di depan ruangan dimana Bapak Mahali dirawat. Tikar itu sengaja dibawa
dari rumah karena memang sudah berniat akan bermalam di Rumah sakit. Ibu
Shofiyah sudah pasrah, akal dan fikirannya sudah buntu tiada titik temu selain
sabar dan tawakkal, harapannya hanyalah takdir yang terbaik, terbaik untuk
suami dan anaknya dan tentu dirinya.
“Sudah, Mbak
Yu, sampeyan tidur dulu saja, biar aku yang jaga. Sampeyan tadi kan juga habis
lembur, dijaga kesehatannya, kang Mahali dan Zahra sudah sakit, apa sampeyan
tidak kasihan kepada Nurul teman Zahra itu kalau sampeyan juga ikut sakit
seperti mereka?” Ibu Har adik keponakan Bapak Mahali yang baru datang menjenguk
mencoba menasehati Ibu Shofiyah.
Ibu Shofiyah
lalu merebahkan tubuhnya, menuruti rasa letih yang sejak tadi meraung-raung di
jasadnya.
“Aturnuhun ya,
De' Har, aku ta' istirahat dulu, nanti bangunin kalau ada apa-apa.”
“Iya, Mbak Yu.”
***
Sementara itu
Nurul tengah berada di depan Musholla yang sepi, memang sudah lazimnya pada dini
hari seperti ini orang-orang sedang menikmati tidurnya, sehingga suasana di
sekitar RS begitu lengang, termasuk Mushollanya. Suasana seperti ini yang
justru ditunggu oleh Nurul.
“Ah, susahnya
orang istihadhoh, mau sholat saja harus nunggu sepi dulu!” Sambil bergumam
sendiri, Nurul melangkahkan kakinya ke kamar kecil di selatan Musholla. Nurul
hendak melaksanakan 4 perkara yang harus dilakukan oleh orang yang istihadhoh
sebelum melakukan sholat atau ibadah yang lain, dan Nurul merasa kurang nyaman
jika harus melakukan 4 perkara yang intinya bersuci itu ketika ramai orang.
Sehingga untuk sholat isya' Nurul harus menunggu dini hari.
Selain sholat,
Nurul hendak membaca Al-Qur'an, kebiasaannya membaca Al-Qur'an minimal 1 juz
dalam sehari tidak bisa dia teinggalkan begitu saja. Nurul tidak mau melanggar
keistiqomahannya dengan alasan apapun, selama tidak dhorurot, Nurul akan tetap
berusaha menjaga kebiasaanya itu. Bisyiqqil anfus, meski dengan usaha
yang teramat sangat payah.
Udara begitu
dingin, Nurul segera memakai mukena agar tubuhnya sedikit terasa hangat. Tangan
Nurul sudah bergetar sejak tadi karena air wudhu yang sangat dingin, namun
dingin bukanlah alasan untuk meninggalkan sholat. Amal sholatlah yang akan
dihisab untuk pertama kalinya suatu saat. Hanya ada satu alasan yang
membolehkan meninggalkan sholat bagi seorang muslim yang berakal, yaitu mati.
Setelah selesai
sholat dan membaca Al-Qur'an Nurul menengok Zahra di ruangannya, mengetahui
Zahra tertidur pulas Nurul berniat ke ruangan Bapak Mahali, namun sesampai di
depan ruangan, Nurul mendapati Ibu Shofiyah menangis.
“Kenapa, Bu?”
Ibu Shofiyah
tidak menjawab, Nurul segera menengok keadaan Bapak Mahali di dalam, namun
Nurul mendapati ranjang yang biasa dipakai Bapak Mahali sudah kosong. Hanya
masih ada sisa infus yang terlihat belum dibereskan.
Mantap bro...
ReplyDeletewww.pritowindiarto.blogspot.com
Sama Bro. blog ente juga manteppp
Delete