TUHAN, PEMERINTAH DAN PAK POS

Temaram bohlam lima watt cukup menerangi jiwa. Dini hari yang sunyi. Kebanyakan manusia sedang asyik dengan mimpi-mimpinya, asyik dengan kehangatan selimut dan bantalnya. Zainab yang renta baru saja melepas mukenanya. Kewajiban berdoa telah Ia tunaikan. Kini saatnya kewajiban ikhtiarnya dimaksimalkan.
Ia pergi ke belakang rumahnya, mengambil seikat kayu bakar yang kemarin siang Ia dapatkan dari kebun Pak Misbah, tetangganya. Seseorang yang Ia anggap paling baik di dunia ini. dalam hitungan detik tungku di dapur itu pun menyala. Sebuah wajan penggorengan yang bagian belakangnya penuh dengan jelaga hitam telah siap menemaninya. Zainab menuangkan minyak secukupnya. Kemudian Ia mengambil segepok pisang di atas meja.
“Nek, Nafisa kok tidak dibangunin. Nafisa kan ingin sholat tahajjud.”
Tangan Zainab berhenti mengupas pisang. Ia menoleh memandang dengan rasa sayang. Cucunya sudah berdiri di belakangnya. Pelan Ia mendekatinya.
“Kau sudah besar, Sayang! Kau sudah kelas satu SD. Kau sudah seharusnya bangun sendiri. Jangan mengandalkan Nenek!!” Tangan kanan Zainab mengusap kepala Nafisa.
“Kata Pak Budi, Nafisa masih kecil, Nek..”
“Tidak, Nak! Kau sudah besar. Lihatlah! Tinggimu sudah sepinggang Nenek.” Zainab berdiri menyebelahi Cucunya yang baru tujuh tahun itu. Nafisa mendongak mendekatkan kepalanya dengan pinggang neneknya.
“Oh, Iya...” Nafisa tersenyum senang. Deretan gigi susunya terlihat.
“Ayo sekarang Nenek antar berwudhu ke belakang!” Nafisa mengikuti neneknya berjalan ke belakang.
***
“Kenapa jalanan ini banyak lubangnya, Nek? Tidak seperti jalan besar yang depan rumah Nasya. Halus.”
“Jalan di depan rumah Nasya itu sudah dibangun oleh pemerintah, Nak!”
“Wah, baik sekali ya, Nek, Pemerintah itu.”
“Ya, pemerintah yang menolong orang-orang, termasuk kita juga jika membutuhkan pertolongan.”
“Ooo.. memangnya pemerintah itu rumahya di mana, Nek?”
“Suatu saat kau akan tahu sendiri, sayang!”
Zainab dan cucunya terus berjalan. Setiap pagi, sebelum keliling kampung menjual pisang gorengnya, Zainab mengantar cucunya ke sekolah terlebih dahulu. Meski tubuhnya telah ringkih dimakan usia, semangatnya untuk bertahan hidup masih sama ketika dia masih muda dulu. Air matanya tak pernah lagi menetes sejak beberapa tahun. Dia sudah mengikhlaskan semuanya. Mengikhlaskan satu-satunya anak gadis yang harus meregang nyawa ketika melahirkan Nafisa, cucunya. Mengikhlaskan menantunya yang entah kemana pergi dengan istri barunya tanpa memperdulikan Nafisa lagi. Mengikhlaskan suaminya yang telah lebih dulu meninggal karena sakit sejak Nafisa belum ada. Zainab sudah begitu tegar meski sebatang kara merawat Nafisa. Dia sudah bertekad menghabiskan hidupnya untuk cucu satu-satunya itu.
“Nek, itu Nasya...” telunjuk Nafisa menunjuk seorang bocah perempuan seusianya yang sedang di depan pintu gerbang bersama seorang lelaki.
“Ya sudah sana bareng Nasya masuknya.”
Setelah mencium punggung tangan neneknya, Nafisa berlari-lari kecil ke arah gerbang sekolah.
“Nasya... tunggu aku...”
Mata sayu Zainab terus memandangi cucunya yang berlari. Hatinya miris melihat seragam lusuh yang dikenakan makhluk kecil yang membahagiakannya itu. Apalah daya, Zainab sangat ingat kalau tabungan hasil penjualan pisang gorengnya belumlah cukup untuk membeli seragam baru. Itulah yang membuat semangat Zainab membuncah setiap pagi. Tekadnya kian kuat menghabiskan satu bakul pisang goreng yang kini dijinjingnya. Di saat Zainab hendak berbalik, seseorang memanggilnya. Dia hafal itu suara siapa dan hendak membeli berapa banyak pisang goreng miliknya.
“Mbah... Mbah Nab, beli pisang gorengnya...” Pak Budi berteriak melambaikan tangan sambil berjalan mendekat.
“Berapa, Pak?” Zainab menurunkan jinjingannya sambil terbatuk-batuk setelah dekat dengan orang yang selalu menjadi pembeli pertamanya itu.
“Seperti biasa. Mbah.. sampean sakit?”
“Aku masuk dulu, Ayah... Assalamu’alakum...” teriakan dari arah gerbang.
Pak Budi menoleh “Iya, Waalaikumussalam...” dua bocah kecil berlari melambaikan tangan.
“Saya sehat saja kok, Pak.! Hmm.. Nafisa dan Nasya itu akrab sekali ya, Pak!” Zainab mengulurkan pisang goreng yang sudah terbungkus plastik.
“Iya, Mbah... ajaklah Nafisa main ke rumah saya. Biar tambah akrab sama Nasya.” Pak Budi tersenyum ramah sambil mengulurkan uang sepuluh ribuan. Wajahnya menyenangkan sekali dipandang.
“Terimakasih, Pak.. Insyaallah kapan-kapan kalau ada waktu saya ajak dia ke rumah Pak Budi.” Zainab kembali terbatuk-batuk.
“Sampean sakit, ya... ayo saya antar ke dokter, Mbah.”
“Terimakasih, Mari Pak.. saya jualan dulu...” Zainab berdiri dan pergi.
Pak Budi mengangguk, mengamati kepergian orang tua yang rambutnya telah sepenuhnya memutih itu. Orang tua yang senantiasa melafadzkan Alhamdulillah saat mendapatkan rezeki.
“Semoga daganganmu laris manis, Mbah...” lirih Pak Budi dalam hati. Kemudian dia menaiki motornya dan pergi ke kantornya.
***
Bel tanda istirahat berbunyi. Nafisa dan Nasya yang duduk berjejer pun ikut lari keluar kelas. Berhamburan bersama teman-temannya. Dua bocah kecil itu berlari ke kantin.
“Aku mau beli roti, kamu mau beli apa, Naf?” Nasya bertanya pada Nafisa. Tangannya menggenggam uang lima ribuan.
“Aku tidak mau beli apa-apa.” Nafisa menggelengkan kepala mungilnya. “Aku cuma ingin bertanya pada Bu Eni, berapa harga obat ini..?” Nafisa menunjukkan sebuah bungkus obat yang sudah kosong berwarna kuning.
“Obat apa itu, Naf? Memangnya Bu Eni tahu?” wajah lugu Nasya memancar seiring rasa ingin tahunya.
“Ini obat untuk nenekku. Mm Bu Eni tahu gak ya..” Nafisa mengangkat bahunya.
“Selamat pagi, Sayang...! anak cantik-cantik ini mau beli apa?” Bu Eni penjaga kantin muncul dari balik pintu.
“Aku mau roti, Bu...”
“Kalau aku mau tanya, Bu...”
Perempuan paruh baya itu tersenyum mengambilkan Roti. “Kamu mau tanya apa, sayang?” Pandangan mata Bu Eni beralih ke Nafisa.
Nafisa menunjukkan bungkus obat yang dia bawa dari rumah. “Obat itu harganya berapa, Bu?”
“Ibu tidak menjual obat ini. Sayang... buat apa Nafisa beli obat?”
“Itu untuk nenekku. Sudah dua malam ini nenek selalu batuk. Kan aku tiap malam bangun, Bu! Sholat tahajjud bersama nenek. Setiap malam nenek selalu batuk-batuk. Aku kasihan... ”
“Kok Nafisa tahu kalau ini obat batuk?” selidik Bu Eni.
“Sebenarnya Nafisa tidak tahu, Bu. Tapi biasanya setiap sakit, Nenek selalu minum obat itu. Obatnya sudah habis dan nenek tidak beli lagi. Mungkin tidak punya uang. Soalnya uang saku Nafisa biasanya kan tiga ribu, sekarang Cuma dua ribu. Kata nenek harus hemat. Emm jadi Bu Eni tahu gak harga obat itu?” Tanya Nafisa dengan wajah penasarannya.
“Tahu, Ibu juga suka minum obat ini kalau batuk. Harganya lima belas ribu, Sayang.”
“Emm, benar kata Nenek.” Nafisa bicara sendiri. Lirih. “Ya sudah, Bu. Terima kasih... kami permisi dulu ya, saya kebelet pipis.” Nafisa mengulurkan tangannya. Meminta bungkus obat yang masih dipegang Bu Eni.
Dua bocah itu kemudian bergegas berjalan ke arah toilet. Tangan Nasya masih memegang roti yang tinggal separuh.
“Aku nanti titip surat ya, Sya.. kan ayahmu Pak Pos. Kata Bu Guru, Pak Pos mengetahui semua alamat.”
“Surat apa?”
“Nanti deh aku kasih tahu. Suratnya ada di tas. Sebentar aku masuk toilet dulu. Tunggu aku, ya...”
***
“Sudah jadi belum, Naf....?”
“Sudah... tinggal masukkan ke amplop.”
“Sini lihat dulu...” Tangan Nasya sudah meraih secarik kertas dari Nafisa. “Pemerintah itu siapa? Teman baru kamu, ya?”
“Bukan, kata nenek Pemerintah itu bisa menolong kita. Jadi aku kirimi surat saja.”
“Oo...” Nasya manggut-manggut sambil menyerahkan secarik kertas itu kembali dan langsung dimasukkan amplop oleh Nafisa.
“Aku nanti titip dua surat ya...”
“Dua?”
“Iya, satu untuk Tuhan, satu lagi untuk Pemerintah ini.” tangan Nafisa memberikan satu amplop yang bertuliskan “Untuk Pemerintah.
“Kamu kenal Tuhan?”
Nafisa menggeleng. “Tapi kata nenek, Tuhan itu dekat dengan kita.”
“Oh.. ya sudah, nanti kuberikan ayahku.” Tangan Nasya sibuk memasukkan dua amplop ke dalam tasnya.
“Terima kasih ya, Sya..” Nafisa mengulurkan tangan yang langsung disambut Nasya.
“Hee sama-sama..” Deretan gigi Nasya terlihat rapi. Mereka bersalaman.
“Yuk, kita pulang...”
***
Sepertiga malam telah datang. Pak Budi bangun dan melakukan aktifitasnya. Selesai shalat tahajjud, dia mengambil dua surat yang tadi sore sudah disimpannya di almari ruang depan. Dia sengaja menyimpannya setelah membaca alamat tujuan surat itu. Surat yang dititipkan oleh anak perempuannya. Pak Budi membuka amplop yang bertuliskan “Untuk Tuhan.”
Assalamualaikum...
Dear Tuhan,,
Tuhan, namaku Nafisa. Kata Nenek, kamu maha penolong. Nafisa ingin minta tolong tuhan. Sudah beberapa malam ini nenek batuk-batuk. Aku tahu nenek sakit. Sudah kutanya tapi nenek tidak mau ngaku. Aku ngin membelikan obat buat nenek. Harganya 15000. Sekarang, Nafisa punya uang 5000, sebenarnya 6000 tapi yang 1000 sudah Nafisa belikan amplop.
Tuhan bisa gak meminjami uang 10000? Biar Nafisa bisa beli obat.  Sebenarnya, kata Nenek, Nafisa tidak boleh merepotkan orang lain. Tapi Tuhan, kalau menunggu mengumpulkan uang jajan Nafisa itu akan lama. Dan batuk Nenek semakin parah. Nafisa juga sudah tidak punya orang tua. Tuhan pasti tahu. Kata Nenek, Tuhan maha tahu. Tolong ya Tuhan...
Nafisa janji, nanti kalau Nafisa sudah berhasil mengumpulkan uang jajan. Uang Tuhan akan Nafisa ganti. 15000 deh....
Nafisa tunggu. Secepatnya ya Tuhan...
Wassalamu’alaikum...
  
Tenggorokan Pak Budi kelu. Sambil menyeka air mata, lirih lisan Pak Budi bergumam “Ya Allah...” Pak Budi mengambil nafas dalam mengimbangi dadanya yang terasa sesak. Hatinya tersentuh. Setelah melipat surat itu dan memasukkannya kembali ke amplop, Pak Budi mengambil surat yang ke dua dan  membukanya.

Assalamu’alaikum...
Dear Pemerintah,,
Pemerintah, namaku Nafisa. Kata Nenek, kamu mha penolong. Nafisa ingin minta tolong pemerintah. Sudah beberapa malam ini nenek batuk-batuk. Aku takut nenek sakit....


Pak Budi terus membaca, kalimatnya sama dengan surat pertama, hanya kata Tuhan yang diganti dengan Pemerintah. Tangis Pak Budi pun pecah. Sekuat hati dia menahan agar tidak mengeluarkan suara. Dia teringat anaknya sendiri, Nasya. Pelan-pelan dia bangun dari tempat duduknya. Dengan masih menggenggam sebuah surat dia melangkahkan kakinya menuju kamar putrinya. Nasya masih tertidur pulas mendekap sebuah boneka panda putih. Pak Budi mencium keningnya. “Semoga umurku panjang, sehingga bisa menemanimu sampai dewasa, Nak.” Batin Pak Budi berdo’a. Lalu Pak Budi keluar dan berniat membuat surat balasan untuk Nafisa, gadis kecil sahabat putrinya.
***
Nafisa sedang duduk santai di atas dipan kayu di dalam rumah di depan Nafisa nampak sebuah buku terbuka. Sesuai pesan Neneknya sebelum berangkat mencari kayu bakar, Nafisa harus belajar ketika neneknya sedang pergi.
“Assalamu’alaikum....” dari pintu depan terdengar ada yang mengucapkan salam.
“Waalaikumussalam...” Nafisa berlari kecil ke depan lalu membukakan pintu. Nampak seorang bertopi memakai seragam berdiri di depan pintu.
“Pak Pos....??” Nafisa memandang wajah Pak Budi dengan gembira.
“Nenek ada, Sayang?”
“Nenek sedang mencari kayu bakar.”
“Ohh..” wajah Pak Budi senang. “Ini kamu dapat surat. Tapi syaratnya, jangan bilang-bilang Nenek ya..”
Nafisa mengangguk sambil menerima dua amplop.
“Ya sudah anak pintar, Pak Pos pamit dulu, ya...” Pak Budi mencium kening dan kedua pipi Nafisa yang tak menyadari kalau Pak Pos itu menitikkan air mata saat menciumnya.
Assalamu’alaikum Nafisa...
Suratmu telah sampai, Terimakasih telah mau mengirim surat.
Tuhan telah menyuruh Pemerintah mengirimkannya untukmu.
Kalau Pemerintah tidak menolongmu, laporkan pada Tuhan.
Wassalamu’alaikum....
NB: jangan bilang-bilang nenek ya, kalau Nafisa dapat surat. Janji...

Setelah menutup pintu, Nafisa kembali ke tempatnya semula. Ia memandangi dua surat itu. Keduanya bertuliskan “Untuk Nafisa”. Namun pengirimnya yang berbeda. Jemari mungilnya segera menyobek satu surat yang nama pengirimnya tertulis “TUHAN”.
 “Yahhh.. Surat Tuhan pendek sekali. Nafisa janji gak akan bilang Nenek.” Nafisa mengernyitkan dahinya. Lalu menyobek surat satunya yang nama pengirimnya tertulis “PEMERINTAH”. Tangan kecil Nafisa merogoh kertas dan mengeluarkannya. Bersamaan dengan itu, keluarlah selembar uang lima puluh ribuan. Nafisa kebingungan. “Aku kan minta  lima belas ribu, kenapa di beri lima puluh ribu. Katanya tuhan maha tau, kenapa dia menyuruh Pemerintah mengirim limapuluh ribu. Kenapa dia tidak tau kalau aku tidak punya uang kembalian. Huuhh...” Nafisa sebal, kemudian membaca suratnya.

Assalamu’alaikum Nafisa...
Suratmu telah sampai, Terimakasih telah mau mengirim surat.
Semoga uang ini bisa membantu Nafisa. Uang ini dari Tuhan. Bukan dari Pemerintah. Nafisa tidak perlu mengembalikannya. Ini rezeki dari Tuhan. Kalau ada sisanya berikan saja pada Nenek. Kalau Nenek tanya dari mana, bilang saja dari Pak Pos yang mengantar surat ini. tapi Nafisa tetap tidak boleh bilang kalau dapat surat dari Tuhan dan Pemerintah ya... begitulah pesan Tuhan. Oh iya, belajar yang rajin ya Sayang...
Wassalamu’alaikum... 


“Kok Tuhan aneh ya... kenapa dia menyuruhku berbohong? Kata nenek, Tuhan itu tidak pernah berbohong. Jangan-jangan Pemerintah yang bohong.” Nafisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Post a Comment for "TUHAN, PEMERINTAH DAN PAK POS"