Ketika Senja Berkata Cinta Part 12
Part
12 (Pergi)
“Kenapa
ayahmu belum datang juga ya, Ra? Ini kan sudah hampir jam sembilan malam.”
“Mungkin
ayahku masih sibuk, Rul, biasanya kalau pesanan sedang banyak ayah memang suka
lembur. Memangnya kamu mau balik ke pondok?”
“Ya
nggak lah, aku akan tungguin kamu sampai sembuh.”
Zahra
menautkan seutas senyum, merasa bahagia mempunyai sahabat yang memperlakukannya
layaknya saudara.
“Kamu
hafal nomer telepon ayahmu?”
Zahra
mengangguk
“Kalau
gitu biar kucatat, nanti ku hubungi lewat telepon umum di samping RS ini.”
Zahra
menyebutkan angka-angka dan Nurul mencatatnya pada sehelai kertas.
Nurul
segera bergegas menuju ke telepon umum yang ada di samping Rumah Sakit.
*
Beberapa
kali Nurul menghubungi nomer yang telah dicatat, tetapi tidak tersambung.
“Kok
nggak nyambung ya, Ra, benar tidak ini nomernya?”
“Benar
kok, ya sudah ini nomer telepon ibuku.”
Zahra
lalu menuliskan sebuah nomer telepon lagi lalu kembali lagi ke depan rumah
sakit dan menelepon nomer baru yang diberi Zahra, namun sayangnya tetap tidak
berhasil. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya dia menyerah juga, tidak ada
hasilnya.
Sudah
hampir pukul sepuluh malam. Ayah Zahra belum juga datang. Kasihan Zahra, dia
tidak begitu suka makanan yang disediakan rumah sakit. Sejak tadi sore Zahra
belum mau makan. Padahal di pesantren Zahra baru makan tadi pagi bersamanya.
Nurul sendiri juga tidak mengantongi uang sama sekali. Andai dompetnya tidak
tertinggal di pondok, Zahra pasti sudah dibelikan makanan. tidak cuma Zahra,
Nurul juga baru makan tadi pagi di pesantren.
Nurul
lalu mencoba menelepon kembali nomer Pak Mahal. Menurut Zahra nomer itu sudah
benar, mungkin saja jaringan sedang error. Lagian nelepon lewat telepon umum
ini gratis.
“Halo
Assalamu'alaikum, benar pak Mahali?”
“Halo,
apakah anda kenal dengan ibu Shofiyah?”
Suara
di seberang malah balik bertanya.
“Iya,
ini siapa?”
Meski
agak bingung, Nurul menjawab pertanyaan di seberang.
“Kami
dari Rumah Sakit Al-Huda Genteng Banyuwangi, bapak-bapak pemilik Handphone yang
mbak telepon ini mengalami kecelakaan tadi sekitar pukul delapan setelah isya',
kalau mbak mengenal Ibu Shofiyah, kami yakin mbak juga mengenal bapak ini, kami
minta tolong dan mohon mbak segera datang ke Rumah Sakit Al-Huda Jl. Diponegoro
No. 65 Genteng Banyuwangi. Tanyakan ke petugas yang jaga di depan tentang
ruangan bapak-bapak yang kecelakaan, kami tunggu segera, agar kami bisa segera
mengabari keluarganya.”
“Iya,
Wassalamu'alaikum.” Nurul mematikan teleponnya. Kebingungan memikirkan apa yang
baru saja didengarnya, tapi dia segera ke depan Rumah sakit, menghampiri
petugas jaga yang ada di pintu masuk.
Petugas
itu memberi keterangan seperlunya, Nurul segera menuju ruangan tempat korban
kecelakaan dirawat.
Tangis
Nurul benar-benar pecah setelah memastikan bahwa korban kecelakaan itu adalah
Pak Mahali, ayah Zahra. Nurul tidak tau apa yang harus disampaikan ke Zahra,
apakah dia harus mengatakan kalau ayahnya kecelakaan dan mengalami pendarahan
yang fatal di kepalanya? Apalagi dokter bilang kemungkinan tertolongnya sangat
kecil.
Nurul
begitu kasihan pada Zahra. Betapa berat cobaan yang dialaminya, baru saja tadi
Zahra berujar hendak belajar ikhlas, namun ikhlas itu sudah hendak diuji lagi
oleh Allah SWT.
Setelah
menjelaskan kepada petugas rumah sakit, Nurul dipercaya untuk menghubungi
keluarga korban. Nomer telepon Ibu Shofiyah yang ada dikantongnya segera
dihubungi.
Kali
ini tersambung, Ibu Shofiyah meminta maaf karena tadi sibuk di gudang. Jadi
handphonenya ditinggal di dalam rumah. Sehingga tidak ada yang menjawab sewaktu
dihubungi. Nurul bercerita keadaan di RS, dia menjelaskan semuanya,
sedetail-detailnya, tentang keadaan Zahra, keadaan Bpk. Mahali dan juga ketidak
tahuan Zahra tentang keadaan Bpk. Mahali. Sejenak kemudian, Nurul dapat
mendengar dengan jelas isak tangis Bu Shofiyah melalui telepon.
“Bu,
yang sabar, ya, Nurul siap membantu apapun sebisa Nurul.”
“Iya,
Rul, terimakasih, tolong hibur Zahra! Jangan beritahukan dulu perihal tentang
ayahnya, sekarang juga saya akan langsung kesana.”
“Iya,
Bu, Nurul tunggu di depan RS, Assalamu'alaikum.”
***
Sudah
pukul sepuluh malam lebih, RS masih tampak ramai. Nurul berjalan ke belakang
menuju Ruang Sabar 2, ruang dimana Zahra dirawat. Ketika melewati koridor yang
menghubungkan Ruang Sabar dan Laboratorium, Nurul melihat seorang berbaju batik
motif bunga yang wajahnya tidak asing lewat di koridor seberang. Jarak antar
koridor hanyalah beberapa meter dan tidak ada pembatas yang menghalangi
pandangan diantara keduanya. Wajah itu benar-benar tidak asing, sayangnya wajah
itu sama sekali tidak menoleh ke arah koridor dimana Nurul sedang berjalan.
Nurul bergegas segera mengejar orang berbaju batik itu, tidak salah lagi. Nurul
sangat yakin itu adalah Kang Hanif. Tapi kenapa Kang Hanif ada di RS ini?
Bukankah Kang Hanif di Kudus? Nurul mempercepat langkahnya berharap bisa
menyusul orang berbaju batik yang mirip Kang Hanif itu. Hati Nurul bergemuruh,
nafasnya tidak teratur, perasaan Nurul benar-benar serasa dipermainkan oleh
takdir.
Zahra
juga sakit, keadaannya sangat membuat Nurul iba dan kasihan. Ditambah lagi Pak
Mahali menjadi korban tabrak lari dan mengalami luka yang fatal di kepalanya.
Hati Nurul begitu perih merasakan penderitaan Zahra, sekarang muncul bayangan
Kang Hanif dan mungkin benar-benar Kang Hanif yang dikabarkan telah menikah
sirri. Seorang lelaki yang pernah mendobrak pintu hatinya dan menanamkan benih
cinta yang sampai saat ini benih itu belum mati juga. Cintanya telah terkoyak,
kini penanam benih cinta itu muncul dihadapannya.
Hilang
sudah akal logika Nurul, yang ada difikirannya hanyalah bisa mengejar Kang
Hanif dan bisa mengajaknya bicara. Memastikan bahwa kabar pernikahannya
hanyalah kebohongan belaka. Tapi sekali lagi Nurul berfikir, Kang Din yang
menyampaikan berita bukanlah seorang pendusta. Bahkan Kang Din termasuk orang
yang sangat dipercaya di Ndalem. Lalu bagaimana?
Nurul
terus mengikuti lelaki berbaju batik dari belakang, langkah lelaki itu terlalu
cepat sehingga Nurul yang nafasnya sudah tidak teratur kuwalahan untuk
mengejarnya. Namun Nurul masih bisa melihat ternyata lelaki itu menuju dan
masuk ke toilet putra. Nurul menjadi bimbang, lucu rasanya kalau dia menunggu
seseorang yang belum pasti di depan toilet putra. Padahal dia ada janji
menunggu Ibu Shofiyah datang di depan RS.
Nurul
memutuskan untuk kembali ke ruangan Zahra. Air matanya terus menetes memaksakan
kaki untuk melangkah meski kedua kakinya serasa sudah enggan untuk bergerak.
“Ya
riikhal laili, balligh salaami 'ala habiibil mahbub.”
“Wahai
angin malam, sampaikan salamku pada kekasihku yang tercinta”.
Begitulah
gumam Nurul ketika pergi berlalu meninggalkan bayangan Kang Hanif.
Di
Ruang Sabar, Nurul mendapati Zahra sedang menangis. Kasihan Zahra, sudah sejak
tadi ditinggalnya sendirian di ruangan itu. Mungkin Zahra merasa kesepian,
disaat sakit melanda, tidak ada siapapun di dekatnya.
“Sudah,
Ra, jangan menangis, maaf ya terlalu lama...”
“Apakah
kamu sudah menghubungi ayah atau ibuku, Rul? Maaf ya merepotkanmu!” Zahra
sesenggukan menanyakannya.
“Sudah,
Ra, Ibumu akan kesini.” Nurul mencoba tegar, air matanya ditahan sedemikian
rupa.
“Kenapa
bukan ayahku, Rul? Katanya tadi ayahku, apakah ayahku baik-baik saja?”
Nurul
diam, dadanya sesak ditanya Zahra seperti itu. Akhirnya air matanya merembes
juga.
“Kenapa
kamu ikut menangis?”
“Kamu
kenapa menangis juga, Ra?” Zahra
mengusap air matanya, mencoba tenang lalu bercerita bahwa baru saja Zahra
tertidur. Dalam tidurnya Zahra bermimpi didatangi oleh ayahnya yang berpakaian
serba putih. Ayahnya menangis meminta sesuatu pada Zahra. Tapi Zahra bingung
hendak memberikan apa? Lalu ayahnya mencium keningnya dan memintanya untuk
menjadi putrinya yang sholihah. Setelah itu ayahnya tersenyum lalu mengucapkan
salam, dan sebelum Zahra sempat menjawab salam itu, Zahra sudah bangun dari
tidurnya. Mimpi itulah yang menyebabkan Zahra menangis.
Nurul
mematung, Nurul tidak tau harus berbuat apa dan berkata apa. Dipandangi wajah
Zahra yang gurat kesedihannya masih begitu lekat. Andaikan Nurul bisa
memusnahkan kesedihan sahabatnya itu, pasti sudah Nurul lakukan dan tidak akan
memberi peluang lagi kepada kesedihan untuk datang.
“Ya
Allah, inilah kelemahan manusia. Akal dan hati sudah tidak dapat berbuat
apa-apa, inilah petunjuk bahwa tak sepantasnya jika akal dan hati seseorang itu
sombong. kini Engkau memberikan keadaan di mana akal dan hati sudah terasa beku
dan kaku. Hanya engkau ya Allah yang bisa menolong.” Bisik hati Nurul.
Nurul
lalu memeluk Zahra yang terbaring tak berdaya. Tak kuasa dia menyampaikan
Hadist tentang tiga perkara yang tidak akan terputus sampai seseorang mati.
Hadist itu yang dirasa sesuai untuk menjawab mimpi Zahra. Hadist tentang anak
yang sholih-sholihah.
Kemudian, untuk menghibur Zahra, Nurul
menerangkan tentang 3 ayat yang masing-masing punya pasangan, jika amal itu
hanya dilakukan satu dan pasangannya tidak dilakukan, maka amal itu akan
sia-sia dan tidak di terima oleh Allah.
1.
Athi'ullah wa athi'ur Rosul (taat kepada Allah dan Rosulnya), jika seseorang
hanya taat pada salah satu maka sia-sia.
2.
Aqimus sholata wa atuz zakaah (dirikan sholat dan tunaikan zakat), jika
seseorang cuma melakukan salah satu, maka sia-sia.
3.
Anisykurliy wa liwalidayya (bersyukur kepada Allah dan kepada Orang tua)
dua-duanya harus dilakukan, jadi rugi orang yang pandai bersyukur kepada Allah
tapi tidak berbuat baik pada orang tua.
Zahra
mendengarkan dengan seksama keterangan Nurul.
Nurul
tidak bermaksud apa-apa, hanya mengalihkan perhatian Zahra agar tidak terlalu
bersedih.
Post a Comment for "Ketika Senja Berkata Cinta Part 12"