Ketika Senja Berkata Cinta Part 11
Part 11 (Derita)
Keduanya lalu bersama-sama membukanya dan
membacanya
“Semoga Kang Hanif kerasan ya, Rul, di sana?”
Zahra membuka suara, merespon surat yang baru saja dibaca.
“Iya, aminn,
dan semoga berhasil ilmunya.”
Di dalam
suratnya, Hanif bercerita bahwa sekitar 2 minggu kedepan dia akan “Boyong” dan
pindah ke Pondok Al-Qur'an di Kudus. Hanif meminta maaf sebanyak-banyaknya atas semua kesalahan.
Hanif juga mendo'akan Nurul dan Zahra yang sudah dianggap sebagai saudaranya.
Hanif menasihatkan niat harus ditata. Tidak boleh mencari ilmu dengan niat
mencari kedudukan apalagi niat mempermudah mencari harta. Sebaiknya diniatkan
untuk menghilangkan kebodohan. Bukan mencari kepintaran. Karena kadang-kadang
orang pintar itu masih bodoh dengan kepintarannya.
Meski Nurul dan
Zahra tidak memahami secara total isi dari surat Hanif, tapi mereka bisa
mengambil pelajaran-pelajaran yang di tulis Hanif di dalamnya.
Setelah lampu
dimatikan, mereka berdua mencoba memejamkan mata. Mereka bercakap-cakap sambil
menunggu rasa kantuk menyerang dan mematikan kesadaran mereka.
Dalam
kegelapan, Zahra menitikkan air mata mengingat nasib cintanya. Pujaan hatinya
hendak pergi dari pesantren untuk nyantri ke Kudus, Jawa Tengah. Artinya, Kang
Hanif akan semakin menjauh. Kapan akan bertemu lagi? Apakah masih ada
kesempatan bersua sekedar menggugurkan kerinduan yang fana menyiksa?
Dalam hati
Zahra masih berharap, semoga suatu hari ada kesempatan baginya untuk
menyampaikan rasa rindunya.
Sementara Nurul
yang terbaring di samping Zahra. Setelah melafalkan do'a hendak tidur. Matanya
terpejam. Namun pikirannya masih mengingat kata-kata Kang Din waktu mengantar
surat Kang Hanif ke rumahnya beberapa waktu lalu.
“Kang Hanif itu
cinta sekali dengan Al-Qur'an. Sehingga dia belajar Qiro'at. Sebenarnya dia
masih ingin menghafal Al-Qur'an dan mempelajari Qira'ah sab'ah yakni membaca
Al-Qur'an riwayat 7 Imam. Tapi niatnya itu maju mundur. Namun setelah melihat
kamu, dia memutuskan untuk menikah.”
Antara sadar
dan tidak sadar Nurul berdo'a semoga Kang Hanif ke Kudus akan berhasil dan
niatnya yang dulu masih maju mundur bisa berubah menjadi mantap dan yakin.
***
Di pondok Darul
Manan Putra, Hanif terus bertasbih. Memantapkan hatinya, meyakinkan niatnya. Ke
Kudus untuk menghafal Al-Qur'an. Dan berharap semoga juga berkesempatan
mempelajari Qiro'ah Sab'ah dan Tafsir. Keluarga sudah menyetujui, Romo Kiai
Shidiq juga sudah meridhoi, tinggal menunggu hari. Hanif berniat selama belajar
di Kudus nanti bisa melupakan cintanya, konsentrasi pada pelajarannya, agar
berhasil cita-citanya. Hanif mencoba menghayati apa yang didawuhkan Romo Kiai.
“Khuthwatul wahdah fil hub, ka-annaha tarji'u
alfi khuthwati minal 'amal”
'Satu langkah
menuju cinta seolah-olah mundur seribu langkah dari cita-cita.'
Dia juga
mengingat-ingat Dawuhnya Romo Kiai Pesantren Darussalam Blokagung, Romo Kiai
Syafa'at yang kini Pesantren Darussalam merupakan pesantren terbesar di
Banyuwangi.
“Dzabhul 'ilmi bainal fahidzaini”
'Tersembelihnya
ilmu ada di antara dua paha.'
Niatnya semakin
yakin jika mengingat dawuh-dawuh ini. Dia merasa lega. Seharusnya dia justru
berterima kasih kepada Nurul. Lantaran Nurul jugalah dia jadi ber-azam untuk
melanjutkan belajarnya.
***
Sinar mentari
terus bersinar. Bergantian dengan malam yang kadang ditemani rembulan. Pagi
menjemput siang. Siang menjemput sore.
Sore memamerkan senja yang jingga. Dan malam, lalu datang memamerkan kegelapan
yang hitam membutakan. Semuanya tetap seperti itu hingga bertahun-tahun bahkan
berabad-abad berlalu. Membentuk suatu siklus yang dikuasai sesuatu yang namanya
waktu. Waktu tak pernah tampak, waktu tak pernah bisa dipegang atau diraba,
waktupun tak pernah bisa dibunuh. Namun disegala keadaan, waktu tetap ada
disitu. Waktu hanya bisa dirasa dan diperhitungkan. Begitu berharganya waktu,
lebih berharga daripada sekedar sebongkah emas atau selaksa berlian mutiara. Bahkan
dalam surat Al Ashr, Allah SWT sang Maha pencipta waktu, bersumpah atas nama
waktu. Wal 'ashri, Dan demi waktu.
Proses
kehidupan juga merupakan proses waktu. Menyia-nyiakan waktu berarti
menyia-nyiakan kehidupan. Waktu merekam semua keadaan, dan waktu suatu saat
akan bersaksi di hadapan Tuhan atas semua keadaan tiap manusia dalam kehidupan.
Waktu berjalan
tanpa ada yang bisa menghentikannya kecuali penciptanya. Ia berjalan
menyaksikan kehidupan manusia, kehidupan para santri, kehidupan Nurul dan
kehidupan yang lain. Nurul sendiri baru merasa ternyata waktu telah berjalan
cukup lama semenjak kepergian Kang Hanif . Sekarang saja Nurul sudah hafal
Alfiyah lebih dari separuh, sekitar 700 Nadhom.
Padahal dulu,
ketika Kang Hanif “Boyong”, Nurul
baru hafal Imrity masih sepertiganya.
Rindu sekali
hati Nurul...
“Oh iya, Ra.
Aku lupa, kemarin Kang Din memberi surat padaku, katanya dari Kang Hanif.”
Nurul membuka suara.
“Terus sekarang
dimana suratnya?”
“Ini, di saku
bajuku.” Tangan Nurul mencoba merogoh saku baju yang tergantung di samping
lemari. Mencari surat yang dimaksud.
“Nah . . . Ketemu, Ra.” Surat yang katanya
dari Kang Hanif sudah ada di tangan Nurul.
“Ngomong-ngomong
kamu kangen gak sama Kang Hanif?”
Nurul menggoda
Zahra.
“Ya kangen to,
Rul, kamu ini sukanya kok godain orang, kamu kangen juga too??” Zahra menjawab
dengan jujur tanpa ragu.
Nurul tidak
menyahut, dia hanya menaikkan kedua alisnya sambil menyobek surat di tangannya.
¤
Assalamu'alaikum
Maaf ini dari
saya sendiri Kang Din, saya harap kalian bersabar,
Kang Hanif di
Kudus kabarnya baik-baik saja, dan mungkin sekarang lebih baik.
Kang Hanif
sudah menikah di Kudus.
Bersabarlah
adik-adikku, saya hanya merasa wajib memberi kabar.
Tolong kabar
ini dirahasiakan, karena baru pernikahan sirri.
Wassalamu'alaikum
¤Kang Din
(Ahmad Nurudin)
Petir seakan
menyambar bumi tanpa ada mendung atau hujan. Zahra tidak kuat lagi menahan air
mata. Nafasnya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.
Nurul yang ada
di sampingnya segera mengambil dua gelas air putih. Dia meminumnya dan satunya
lagi diberikan pada Zahra.
Seperti Zahra,
Hati Nurul juga begitu sakit. Meskipun berusaha menahan tetap saja butiran
bening jatuh dari sudut matanya. Semakin lama semakin deras, hingga mata Nurul
pun basah.
Keduanya
sesenggukan sambil menyebut nama Allah.
“Ya Allah....”
“Ya Allah....”
“Ya Allah....”
Nurul dan Zahra
mencoba menenangkan diri agar dadanya tidak semakin sesak, sambil seteguk demi
seteguk meminum air putih, mereka tetap menangis
Surat itu telah
membuat mereka menangis bersama, menangis karena cinta, sebenarnya mereka tidak
menginginkannya tetapi mereka sudah tidak sanggup menahannya, menahan beban
cinta yang kadang kejam tanpa iba.
Tak seperti
Nurul, Jiwa Zahra mudah tergoncang oleh tekanan. Setelah lima hari tidak
merasakan nikmatnya makan akhirnya Zahra jatuh sakit. Sakit yang sama dengan
sakit yang dideritanya beberapa tahun lalu. Sakit karena cinta, cinta yang
sama. Sore ini selepas berjamaah sholat ashar tiba-tiba badan Zahra meriang,
suhu badannya naik drastis, dan dia merasa pusing luar biasa. Nurul yang mengetahui
sahabatnya sakit segera meminta tolong kepada mbak-mbak pengurus yang ada di
kantor putri. Setelah mbak-mbak menelepon keluarganya kemudian Zahra dibawa ke
RS Al-Huda.
Sebenarnya
keadaan Zahra dan Nurul tidaklah jauh berbeda, keduanya sama-sama sedang
merasakan nestapa yang datangnya tiba-tiba. Nestapa itu datang tanpa diundang.
Surat Kang Din yang dikira Nurul mengabarkan hal baik tentang Kang Hanif justru
menjadi belati yang menyayat dan merobek-robek perasaan mereka. Seketika
perasaan keduanya sesak. Begitu mudahnya Allah membolak-balikkan sebuah keadaan
hati seseorang, dalam hitungan detik terjadilah perubahan perasaan yang dahsyat,
begitulah Allah menunjukkan kekuasaanya, dan mereka sadar dengan hal itu.
Nurul
menitikkan air mata melihat pergelangan tangan kiri Zahra tertancap selang
infus, Zahra tidak hanya menderita batin, tetapi dhohirnya juga menderita.
“Bagaimana
keadaanmu, Ra?”
“Baik,
Rul, tenang jangan khawatirkan aku!” Terlihat sekali senyum Zahra sangat
dipaksa.
“Kita
harus ikhlas, Ra, ikhlas itu punya kekuatan, aku yakin kita akan semakin kuat.”
“Apakah
kamu sudah ikhlas, Rul?”
“Belum,
tapi aku sedang belajar.”
“Apakah
kamu membenci Kang Hanif, Rul?”
“Al-Qolbul ladzi yuhibbu la yakrohu, hati
yang mencintai tidak pernah membenci, Ra.” Nurul menjawab pertanyaan Zahra
seolah-olah Nurul sangat tegar menghadapi ini semua.
Zahra
hanya diam, wajahnya masih sangat pucat...
Sambil
tersenyum Nurul mencoba menghibur Zahra .
“Ayahmu
insyaallah nanti sekitar habis Isya' ke sini.”
“Kenapa
aku tidak bisa setegar kamu, Rul? Kabar pernikahan Kang Hanif benar-benar
seperti meluluh-lantakkan hidupku.” Zahra seolah-olah tidak mendengar apa yang
dikatakan Nurul baru saja.
“Sebenarnya
aku juga tidak tegar, Ra, kau tahu? Aku Istihadhoh
sejak malam sehabis membaca surat itu, sampai sekarang. Tapi bagaimana lagi? Al-Umuuru bihadhirihaa, terimalah segala
sesuatu sebagai mana adanya.”
Meski
masih berat untuk tersenyum, ada kesejukan yang menyusup hati Zahra mendengar
penuturan Nurul.
“Kita
harus belajar ikhlas.”
Nurul
menganggukkan kepala, setuju dengan apa yang baru saja diungkapkan Zahra.
* **
Setelah
sholat isya' Pak Mahali segera bersiap-siap untuk ke RS Al-Huda. Karena Ibu
Shofiyah harus di rumah mengurus usahanya, maka beliau pergi sendirian. Bapak Mahali
adalah seorang pengusaha. Mempunyai sebuah pabrik konveksi yang bertempat di
belakang rumahnya. Pabrik konveksinya sudah lumayan terkenal. Karyawannya sudah
ada lebih dari seratus orang. Malam ini para karyawan harus lembur untuk
memenuhi target produksi, jadi Ibu Shofiyah terpaksa tidak ikut ke rumah sakit.
Setelah
siap, Pak Mahali segera mengeluarkan motor dan berangkat ke RS. Lima belas
menit perjalanan Pak Mahali sudah sampai di depan RS. Pak Mahali menarik gas
motornya untuk menyeberang jalan, yang ada dalam angan-angannya hanyalah ingin
segera sampai dan segera bertemu dengan Zahra, anak perempuan yang sangat
disayanginya. Bersamaan dengan itu dari arah utara sebuah mobil Daihatsu Xenia
hitam melaju dengan kencang. Mungkin karena fikiran kacau Pak Mahali tidak
menyadari hal itu. Ketika pak Mahali menyadarinya semuanya sudah terlambat, Rem
dari Mobil hitam itu juga terlambat.
Sebuah
suara benda keras saling berbentur diikuti oleh teriakan seorang lelaki yang
belum terlalu tua tiba-tiba saja terjadi di depan Rumah Sakit Al-Huda malam
itu.
Sebuah
takdir Allah terjadi. Mobil Daihatsu Xenia hitam tidak berhenti, malah semakin
kencang berlalu begitu saja ke arah selatan. Sementara di pinggir jalan depan
RS Al-Huda semakin ramai orang-orang, mereka berbondong-bondong menolong tubuh
bapak-bapak yang tersungkur bersimbah darah tak berdaya di pinggir jalan. Tubuh
itu langsung dibawa ke UGD RS Al-Huda. Tidak ada yang mengenal tubuh
bapak-bapak itu, mobil yang menabrak pun hilang kemana. Sempat ada seorang polisi
yang mencoba mengejar, tapi polisi itu sudah sangat terlambat. Karena memang
jarak RS dan Kantor Polisi yang lumayan jauh. Polisi itu datang setelah seorang
satpam menelponnya. Orang-orang yang melihat kejadian itu banyak yang
beristighfar, menyayangkan kenapa mobil hitam pergi begitu saja, apakah
sopirnya memang sudah hilang rasa perikemanusiaanya, sehingga orang tua yang
dia tabrak pun di abaikan tanpa acuh. Mungkin dunia memang sudah tua. Akal budi
para penghuninya sudah hampir sirna, semuanya memikirkan kepentingan sendiri
tanpa peduli.
Post a Comment for "Ketika Senja Berkata Cinta Part 11"