Ketika Senja Berkata Cinta Part 3-4

Part 3 (Benih Cinta)

Malam Jum'at, semua kegiatan di pondok libur. Hampir benar-benar berhenti semua kegiatan, hanya sholat berjamaah lima waktu dan sholat Tahajjud pada pukul tiga pagi yang masih berjalan sebagai mana biasa. Bagi santri, datangnya hari Jum'at merupakan suatu kesenangan tersendiri.
Di dalam kamar A13 yang ada di depan aula pondok putri, masih terdengar bincang-bincang dua orang santri.
Seorang bermata sendu memakai kerudung biru bermotif bunga, menggunakan baju santai ala santri.
Seorang lagi berhidung mancung dan kelihatan agak pendiam, memakai kerudung hitam polos, memakai baju santai. Kedua gadis itu mempunyai kulit yang sama kuning langsat.
“Aku kok pengen segera hari Senin lagi ya, Rul. Pengen latihan Qiro'at lagi . . .”

“Alahh . . . pengen latihan atau latihan??” Nurul menggoda.
Zahra tersipu-sipu mendengar guyonan itu. “Iya, Rul. Aku kok rasanya gimana gitu kalau pas latihan Qiro'at, kemarin itu saja aku sebenarnya pengen duduk di shof depan, tapi rasanya aku malu sekali sama kang Hanif, Padahal aku tahu Kang Hanif tidak memperhatikan aku.” Zahra seperti hendak curhat.
“Sepertinya ada yang jatuh cinta ni . . .” Nurul menjawab tanpa menoleh Zahra yang sedang berbaring.
“Mungkin aku memang menyukai Kang Hanif, Rul...”
Mendengar penuturan Zahra, Nurul tersentak dan berhenti dari menulisnya, namun hanya sebentar sehingga Zahra tidak melihat reaksi itu, lalu Nurul melanjutkan mengotak-atik diary kembali.
“Nahh tu kan . . .”
“Semenjak Kang Hanif menggantikan Pak Syarif, aku rasanya memang semakin bersemangat. Mungkin alasan semangatku ini salah, tapi yang jelas aku semakin bersemangat mengikuti pelajaran Qiro'at itu. Aku selalu menanti malam Selasa. Sekarang pun aku menantinya. Makanya ketika Senin sore kemarin hujan, aku sangat gelisah. Aku takut kalau latihan Qiro'at akan libur lagi. Dan kalau libur, artinya aku tidak bisa bertemu. Ah kamu tau sendirilah, Rul. Tak perlu kulanjutkan kata-kataku.” Zahra mengungkapkan keadaan hatinya.
Nurul menyimak cerita itu dengan seksama, meskipun Nurul sedang membelakangi Zahra, tetapi Nurul benar-benar menyimak dan bisa merasakan apa yang dirasakan Zahra.
“Kemarin kamu ikut, kan waktu mengaji kitab Ahlaqun Nisa'?” Nurul bertanya.
“Sama Mbak Husna? Ikut lah . . .” Zahra menjawab pertanyaan Nurul sambil membetulkan letak bantalnya.
“Nahh masih ingat petuah Mbak Husna??”
“Yang Mana?” sahut Zahra.
“Jangan terlalu mencintai sesuatu dengan berlebihan sehingga lupa diri, atau kita akan dipisahkan oleh Allah dari yang kita cintai itu.” Nurul menoleh dan tersenyum-senyum ke Zahra.
“Nyindir ni . . .” sahut Zahra. Keduanya lalu tertawa lepas.
***
Sementara itu di pondok putra, di sebuah bilik yang ada di dalam Kantor pondok putra Darul Manan. Hanif sedang sibuk di depan komputer. Dengan lincah tangannya memainkan mouse. Digeser ke kiri dan ke kanan. Dia mengklik beberapa folder di dalam direktori-direktori yang ada di “My Computer”.
“Nahh, ini dia . . .” Hanif bergumam sendiri menemukan apa yang dicari. Sebuah folder 'Foto santri putri' di direktori D dibukanya. Ada ratusan foto di situ, tapi dikelompokkan dengan masing-masing alamat.
Dengan sabar Hanif membuka satu persatu foto itu. Tak berapa lama kemudian dia berhenti pada sebuah foto. Men”Zoom”nya, memindahkannya ke Adobe Photoshop. Dia mencoba sedikit menjelaskan wajahnya.
Memang semua data santri putri ada di komputer santri putra. Karena memang yang menangani administrasi masih pengurus putra saja, termasuk pendaftaran masuk, ujian, sertifikat dll.
“Hayoo fotone siapa itu??” Nurudin atau biasa dipanggil Kang Din tiba-tiba sudah ada di belakang Hanif.
Hanif hanya tertawa kecil . . .
Kang Din seorang pengurus, sama seperti Hanif. Namun Kang Din lebih banyak menghabiskan waktunya di Ndalem, karena memang mengabdikan dirinya di Ndalem.
“Eh kang, sampeyan tau, ini siapa?” Hanif menunjukkan monitor komputer yang sudah ada foto seorang santriwati “Zoom-Full Screen”.
“Tau, Kenapa?? Cantik, ya?” jawab Kang Din datar.
“Iya, aku lihat pas latihan Qiro'at kemarin” Hanif agak malu-malu menjawab.
“Namanya Nurul, Nurul Hidayatul Husna, masuk sekitar 3 tahun lalu. Dia anaknya agak pemalu tapi cerdas. Rumahnya di daerah kesilir dekat Jembatan mayyit.” jawab Kang Din.
“Loo, Kang. Kok tau sampai rumah-rumahnya juga??” Hanif keheranan.
“La iya to, coba lihaten alamate!!” jawab Kang Din santai.
Hanif masih ingat kalau tadi di atas folder 'Foto santri putri' ada folder 'Data santri putri'. Hanif segera mencari nama Nurul Hidayatul Husna dalam folder itu. tanpa kesulitan Hanif  pun  menemukannya.

*Nama                         : Nurul Hidayatul Husna
*TTL                           : Banyuwangi, 29 April 1991
*Alamat                      : Dsn. Krajan Ds. Kesilir Kec. Siliragung Kab. Banyuwangi
*Nama Orang tua        : Bpk. Miftahus Surur

“Lho, Kang ini tetangga sampeyan, to?”
“Bukan hanya tetangga, Nif. Itu adikku, anak pak lekku yang pertama. Dia Punya 2 adik, yang satu masih Mts, satunya masih SD, semuanya perempuan.” Kang Din menjelaskan.
“Pas aku ke rumah sampeyan hari raya kemarin kok gak bilang-bilang to, Kang kalau punya adik cewek.”
“Bagaimana, mau aku sampein salamnya?” Kang Din bercanda menawari.
“Iya, kang. Titip salam ,ya.” Hanif malah serius.
“Okee, siiiipppp........”
Part 4 (Jalan yang Lurus)
Nurul tidak dapat memejamkan mata. Berkali-kali Nurul membaca sholawat dalam hati, berharap dapat segera terlelap. Namun ternyata matanya seperti enggan untuk terlena, kesadaranya enggan untuk pergi meninggalkannya meski sejenak saja.
Nurul hanya takut ketika kegiatan sholat tahajjud nanti tidak bisa bangun dan mengikutinya, atau tidak bisa tidur sama sekali sehingga tetap saja dia tidak bisa mengikuti kegiatan sholat tahajjud itu.
Berulang kali Nurul mengucap istighfar dalam hati. Memohon ampunan dan berdo'a meminta supaya hatinya di jauhkan dari perasaan itu. Sahabatnya, Zahra telah mengungkapkan perasaan itu terlebih dulu.
Dipandangi wajah Zahra yang sudah terlelap di sebelahnya, Zahra begitu cantik, kulitnya kuning langsat, belum lagi lesung pipitnya yang membuatnya sangat manis. Banyak teman-teman yang bilang Zahra ini mirip dengan Rahmi Nurullina, Pemain KCB itu.
“Mana mungkin Kang Hanif memilihku jika aku juga mencintainya seperti Zahra.” begitulah yang ada difikiran Nurul.
“Astaghfirullah..” Akhirnya Nurul memutuskan untuk bangun saja.
“Tidak apa-apa jika memang malam ini tidak bisa sholat tahajjud, itu sudah ketentuan Allah, aku akan memperbanyak sholat sunnah yang Lain.”
Nurul pergi ke kamar mandi. Berniat sekedar buang air lalu berwudhu, terlihat masih ada 2 atau 3 orang yang juga tidak tidur di Emperan kantor pondok putri. Biasanya mereka adalah yang mendapat piket untuk berjaga, mereka yang akan membangunkan teman-temannya untuk bertahajjud. Letak kantor memang ada di seberang kamar mandi. Jadi Nurul bisa melihat apa yang mereka lakukan.
Sesudah berwudhu Nurul kembali ke kamar. Dia tidak menyalakan lampu karena tau itu akan mengganggu sahabatnya yang sedang tidur. Dia sempat melirik jam dinding asrama yang menempel di depan kamarnya sebelum masuk kamar. Sudah pukul 00.36 dinihari. Kemudian dia mengambil mukena, sajadah dan tasbih, berniat hendak ke mushola. Tapi dia tergoda untuk membuka diarynya ketika mengambil tasbih yang terletak berjajar dengan diarynya.
Nurul duduk, menyalakan lampu kecil yang ada di meja. Dia dan Zahra menyebutnya lampu belajar. Lampu itu hanya menerangi sebatas yang ada di meja kecil itu.
Nurul mengambil pulpennya dan menuliskan sesuatu....
“ Jalan Yang Lurus”
Aku begitu peka memikirkan jalan yang lurus
Aku terlalu berselera memiliki jalan yang lurus
Fikiranku juga sibuk dengan arah jalan yang lurus
Ooh Allah, apakah hamba ini lebih buruk dari seonggok batu di tengah sungai Nil?
Seonggok batu itu senantiasa menerima titahmu, mentasbihmu,..
Tak pernah mengeluh dengan gemericik arus air yang berlalu.
Ya Robb...
Berilah aku jalan lurus yang lain.
Biarlah jalan lurus ini di tempuh sahabatku.
Sempurnakan agamanya dengan jalan lurus ini.
Jadikan jalan lurus ini kekasihnya, di dunia dan di surga dengan Ridhomu
Meski hati ini sangat merindu jalan lurus ini.
Tapi, biarlah hati mencari takdir yang lain.
Semoga cinta yang menggebu untuk jalan lurus ini tidak mengganggu cintaku padamu
Biarlah hati yang menjadi saksi atas cintaku dan riduku pada sebuah jalan lurus
Karena hati akan menjadi seadil-adilnya saksi untuk di angkat menjadi saksi
*Di tengah ilalang kegundahan.
***
Mata Nurul sama sekali belum terlelap ketika subuh tiba. dia masih memutar tasbihnya, seperti menghitung biji-biji yang terangkai memutar di sebuah tali yang kuat. Sudah tak terhitung berotasi berapa kali tasbih yang ada ditangannya.
“Alhamdulillah, adzan subuh telah berkumandang...” Nurul berhenti wirid lalu menjawab adzan dengan berurutan.
Menjawab adzan memang sangat utama, bahkan lebih utama dari membaca Al-Qur'an. Jadi jika mendengar suara adzan waktu ketika membaca Al-Qur'an, hendaknya berhenti sejenak dan mengutamakan menjawab adzan. Begitulah yang bisa di ingat Nurul ketika mengaji kitab syarah Muroqil 'Ubudiyah.

Setelah adzan selesai. Nurul mendirikan 2 rakaat sholat sunnah. Sholat yang kata Nabi lebih baik dari pada dunia seisinya. Bahkan menurut cerita paman Nurul yang kuliah di Universitas Al-Azhar Cairo, disana sudah umum jika seseorang tidak sempat melakukan sholat Qobliyah subuh, maka akan diQodho' sesudah sholat subuh. Jadi setelah sholat subuh akan berdiri lagi untuk melakukan sholat Qobliyah subuh.

Post a Comment for "Ketika Senja Berkata Cinta Part 3-4"