Ketika Senja Berkata Cinta Part 5
Part 5
(Gelisah)
“Ayo, Rul!”
Zahra mengisyaratkan sahabatnya supaya lebih cepat jalannya.
Hari ini mereka
berdua mendapat giliran piket di Ndalem. Selain mereka berdua masih ada lagi 3
orang yaitu Rahma, Ilma dan Isah.
Di Ndalem,
Zahra dan Nurul mengerjakan apa saja yang mereka rasa perlu dikerjakan. Hari
ini mereka berkutat di dapur. Mereka hendak memasak sesuatu.
“Rul, tau
sabit, nggak?” tiba-tiba dari arah pintu ada yang bertanya.
Nurul dan Zahra
segera menoleh.
“Oh, Kang Din.
Mengagetkan saja. Ada ini, Kang.” Zahra mengambilkan sabit itu dan
memberikannya kepada Kang Din, karena kebetulan sabit itu terletak didekat
Zahra yang tengah duduk memotong-motong daun singkong muda.
“Terima kasih,
Zahra.” Kang Din hendak segera pergi setelah menerima sabit.
“Mau kemana to,
Kang, kok bawa sabit?” Zahra bertanya sambil kembali memotong-motong daun
singkong muda yang tinggal sedikit.
“Mau memetik kelapa,
Mbak, ikut yuk!” Kang Dien mencandai.
Zahra hanya
tersenyum menanggapi guyonan Kang Din.
Setelah daun
singkong selesai dipotong-potong, Zahra membawanya ke belakang untuk dicuci di
sebelah dapur dekat dengan sumur.
Sementara Nurul
tengah asyik mengupas bawang merah untuk bumbu masakannya.
“Rul..”
tiba-tiba Kang Din kembali ke dapur.
“Maaf lupa,
Rul, ada salam dari Hanif untukmu.”
“Hanif ?”
“Itu lo yang
ngajari Qiro'at setiap malam Selasa.”
“Kang Hanif?”
Nurul lalu mendekat.
“Iya.”
“Eh, Kang
jangan keras-keras ya, lain kali kalau membicarakan masalah seperti ini di
tempat khusus saja. Aku malu, untung Zahra lagi mencuci sayuran.” Nurul kaget
bercampur was-was, takut kalau percakapannya didengar Zahra.
Kang Din kagum
pada adiknya yang berbeda dengan wanita biasanya. Padahal kalau
perempuan-perempuan biasanya, mereka justru bangga jika ada lelaki yang naksir
atau berkirim salam seperti tadi.
Kang Dien
mengangguk tanda mengerti.
“Terima kasih,
Kang.”
“Iya,
sama-sama. Maaf, ya.” Kang Din lalu pergi.
Nurul menjadi
tidak tenang, apa maksudnya? Untung saja Zahra sedang keluar. Nurul begitu
takut menyakiti Zahra.
***
Zahra terus
menangis. Sudah sejak pukul satu dinihari dia berada di pojok mushola. Disana,
Zahra menumpahkan seluruh keluh kesahnya. Beberapa kali sholat sunat ditunaikannya.
Zahra ingin menumpahkan segala bebannya kepada Allah SWT, Tuhan seru sekalian
alam. Allah lah yang mengizinkan hatinya untuk jatuh cinta, tentu Allah juga
yang akan mengizinkan hatinya untuk sembuh dan terbebas dari lara yang menyiksa.
Air matanya
terus mengalir, sesenggukan sendirian di haribaan Tuhan yang maha esa.
“Ya Allah,
segala puji dan cinta bagimu. Tiada sesuatu apapun yang akan terjadi tanpa
izinmu. Bismillah dengan menyebut namamu. Aku mohon ampun atas segala dosa.”
Zahra memulai
do'anya. Sebagai seorang santri, tentulah Zahra mengerti tentang adab-adab
berdo'a. memang semua ada adabnya, ada tatakramanya. Sholat, berdo'a bahkan
berbicara tentang ilmu juga ada tatakramanya.
Dan Zahra
begitu menjaga tatakrama itu tidak hanya kepada sesama manusia, tapi juga
kepada Allah yang Esa. Dia takut tergolong dengan apa yang telah banyak disebut
para ulama.
“Laizal Adab
Ka dubab berarti yang tidak bertatakrama itu seperti lalat.”
“Allahumma
Nawwir Qolbi”
“Allahumma
Nawwir Qolbi”
Zahra terus
mengulang-ulang do'a itu tanpa sanggup melanjutkannya. Air matanya terus
meleleh, bibirnya bergetar dan badannya menggigil.
“Allahumma
Nawwir Qolby binuri hidayatika Ya Robb..”
“Walhamdulillahirabbil
'alamin.”
Zahra
terisak-isak mengakhiri do'anya.
“Kenapa begitu
sulit mengatur hati?” rintihnya.
Zahra masih
saja mengingat kejadian tadi siang, sewaktu dia di dapur ndalem, Sewaktu Zahra
selesai mencuci daun singkong muda dan hendak masuk kedapur, dengan jelas Zahra
mendengar Kang Din menyebut nama Kang Hanif berkirim salam. Alangkah bahagianya
andaikan salam itu tertuju padanya, alangkah bahagianya andai Kang Din tadi
siang memanggilnya.
“Zahra, ada
salam dari Hanif!!”
Andaikan
kalimatnya seperti itu, Zahra mungkin sekarang menjadi orang yang paling
bahagia di dunia.
Sewaktu Kang
Din menyampaikan salam, Zahra ada dibalik pintu kayu, pintu belakang dapur.
Baik Nurul atau Kang Din tidak bisa melihat Zahra meski mereka sangat dekat.
Zahra mendengar hampir semua percakapan mereka. Sebenarnya dia tidak mau
menjadi orang yang suka mengorek rahasia orang lain. Tapi ada kata 'Hanif',
yang membuatnya mematung dibalik pintu dan mendengarkan, tak sengaja-sungguh
tak sengaja pada awalnya.
Hati Zahra
begitu sakit, dia begitu cemburu kepada Nurul, Sahabat karibnya. Ingin sekali
dia membenci Nurul, tapi apa salah Nurul?
Zahra kembali
terisak-isak, memutar tasbihnya kembali dan mensucikan nama Rabnya.
Sebenarnya
Zahra ingin membicarakan masalah ini dengan Nurul sehabis Takror tadi, ketika
semua kegiatan sudah selesai. Toh Nurul yang dapat salam, belum tentu Nurul
menyukai Kang Hanif. Tidak ada alasan untuk sakit hati. Apalagi sebagian dari
prasangka itu dosa.
Namun Sore
tadi, ketika hendak mandi. Sabun mandi Nurul habis, kemudian dia pergi ke
koperasi pondok untuk membeli sabun. Saat itulah tak sengaja Zahra membuka-buka
diary Nurul.
Pada dua
halaman sebelum terakhir Zahra menjumpai sebuah puisi tentang jalan lurus.
Puisi itu
menceritakan seolah-olah Nurul merindukan jalan lurus. Memanganya jalan Nurul
sekarang tidak lurus? Fikir Zahra sore tadi. Ada kata-kata Jalan lurus itu akan
diberikan sahabatnya. Ah Nurul ada-ada saja. Memanglah Nurul ahli merangkai
bahasa, pasti ada makna tersirat dibalik jalan lurus ini.
Zahra berencana
menanyakannya kepada Nurul seusai mandi.
Kemudian dia
membalik halaman, tertulis lafadz Bismillahirrohmanirrohim di baris paling atas
dan di bawahnya ada arti dari Bismillah itu.
Seketika Zahra
mengingat bahwa jalan lurus adalah arti dari kata “Hanif”.
Zahra kembali
membuka halaman yang tadi, membacanya dengan seksama.
Hatinya
gerimis, mengerti makna dari puisi jalan lurus itu, yang dimaksud jalan lurus
oleh Nurul adalah Kang Hanif, Zahra begitu yakin.
Mukena bagian
bawah dagu Zahra sudah basah oleh air mata. Tubuhnya lemas mengingat itu semua.
Nurul adalah sahabatnya yang terbaik, meski dia sangat mencintai Kang Hanif
seperti yang dituliskan dalam puisinya. Nurul akan mencari yang lain, dan itu
karena Zahra.
“Ya Allah apa
aku begitu kejam?” fikiran Zahra berkecamuk, Zahra kembali berdo'a supaya
diberi ketenangan hatinya, Zahra terus memohon dan memohon kepada Allah sebuah
ketenangan, bibirnya terus bertasbih, hingga akhirnya Zahra tidak merasakan
apapun.
***
Zahra merasa
ada yang memijat kakinya dengan lembut. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali,
rasanya seperti bangun dari tidur. Dia melihat langit-langit berwarna putih. Di
sekelilingnya pun dilihatnya kelambu berwarna putih. Zahra mulai menyadari
dimana dirinya berada. Tubuhnya terasa lemas sekali, rasanya seperti puasa
sehari semalam. Sama sekali tidak bertenaga.
“Alhamdulillah,
kamu sudah sadar, Ra . . .”
Zahra mencoba
menoleh ke arah Nurul yang duduk di dekat kakinya, ternyata yang memijitnya
dari tadi adalah Nurul. Tampak Nurul tersenyum, seakan hendak menyampaikan
pesan bahwa semuanya baik-baik saja.
“Kamu tadi
pingsan di mushola. Kebetulan dini hari tadi aku yang pertama masuk mushola
hendak sholat tahajjud. Waktu kunyalakan lampu, kulihat kamu tidur. Hanya
posisi tidurmu yang agak aneh. Kamu terlentang agak miring sambil memegang
tasbih. Ketika aku bangunkan, kamu tidak bangun-bangun. Eh ternyata kamu
pingsan. Lalu aku mencoba membopongmu tapi tidak kuat. Kamu gemuk juga, ya?”
Nurul menceritakan kejadian semalam tanpa ditanya.
“Terima kasih,
Rul, lalu bagaimana?
“Lalu aku
panggil mbak-mbak pengurus, kita bersama-sama membopong kamu ke kantor. Mbak
Nudia mencoba menyadarkanmu, sementara Mbak Khusnul menelepon keluargamu. Ibumu
langsung meminta agar kamu dibawa ke rumah sakit ini.” Nurul menceritakannya
dengan runut.
Tak lama
kemudian, orang tua Zahra datang, Bpk. Mahali dan Ibu Shofiyah. Nurul langsung
sungkem bersalaman dengan keduanya. Nurul sudah sangat akrab dengan beliau
berdua. Hampir setiap liburan pondok atau Hari raya Nurul selalu berkunjung ke
rumah Zahra dan begitu juga sebaliknya.
“Terima kasih,
Rul, sudah menjaga Zahra.” dengan senyum mengembang di bibirnya, Ibu Shofiyah
berterima kasih.
“Iya, Bu,
sama-sama. Sudah menjadi kewajiban saya. Sebenarnya tadi malam ada beberapa teman
yang ikut, tapi mereka sudah pulang ketika adzan subuh berkumandang tadi.”
“Jadi kamu
sendirian menunggu Zahra?”
“Iya, tapi baru
sejak adzan subuh tadi. Oh, iya, saya pamit dulu ke mushola, belum sholat
subuh.”
“Silahkan, Rul,
biar Ibu sama Bapak yang jaga.”
Nurul pun
segera beranjak ke mushola untuk melakukan sholat subuh. Sudah hampir jam 5
pagi, adzan subuh sudah berkumandang pukul 04.15 tadi. Nurul mempercepat
langkahnya agar segera sampai di mushola. Cuma butuh sekitar dua menit untuk
sampai ke mushola yang berada di barat tempat parkir itu. Tempat parkir tidak
terlalu jauh dengan ruangan yang ditempati Zahra.
Nurul sudah
cukup hafal dengan denah rumah sakit ini, Rumah Sakit Al-Huda Genteng. Dulu
keluarga Nurul pernah ada yang dirawat disini untuk beberapa waktu. Dan saat
itu dia menunggu keluarganya itu sampai sembuh. Sejak saat itulah dia mulai
faham dengan denah rumah sakit ini.
Post a Comment for "Ketika Senja Berkata Cinta Part 5"