Ketika Senja Berkata Cinta Part 1-2
Part 1 (Nurul
dan Zahra)
Gerimis masih saja membasuh bumi.
Membasahi tanah, rumput, daun-daun dan membasahi seluruh daratan desa
Blokagung. Awan putih nampak melayang-layang seperti kapas yang menggulung di
angkasa. Gagah perkasa menyejukkan bumi dengan butiran-butiran airnya. Gerimis
itu semakin lama semakin hilang, berganti dengan hujan. Hawa dingin segera
merayap, menyelimut dan menusuk menembus kehangatan kulit para penduduk. Selalu
saja, hujan membawa hawa dingin. Dan kadang hujan itu penyebab gelisah sebagian
manusia., termasuk dua anak manusia yang sedang bercengkerama di dalam
kamarnya. Nurul dan Zahra.
Zahra menutup
kitabnya, dia tidak bisa berkonsentrasi untuk menghafal Nadhom-nadhom Imritinya.
Kitab Imriti memang berbentuk Nadhom-nadhom, semacam Syair agar mudah dihafal.
“Mengapa
hujannya tak juga reda?” bisiknya.
Meski mencoba
tenang, terlihat ada kegundahan di raut mukanya. Akhir-akhir ini Zahra memang suka
gelisah, terlebih jika Senin sore seperti sekarang ini.
Hanya Nurul,
teman satu kamarnya yang mengetahui penyebab kegelisahannya itu. Sejak pertama
kali masuk ke pesantren Darul Manan, Nurul lah yang membantu dan menolong Zahra
apabila menemui kesulitan. Hingga mereka akrab dan menjadi teman baik.
Setiap sore
mereka menghafal Nadhom Imrity bersama-sama. Dan setiap Senin sore, Nurul sudah
bisa menebak kegelisahan Zahra. Kadang-kadang Zahra akan begitu bersemangat,
kadang pula bermalas-malasan seperti saat ini.
“Sudah dua kali
libur, masa nanti malam libur lagi?” Zahra mulai kesal. Kesal pada hujan
yang seminggu lalu menyebabkan kegiatan
belajar Qiro'at libur.
“Mungkin memang
sesuai dengan Bulannya Ra, Januari, “Hujan sehari-hari” begitu kata pak Tamar
guru IPAku waktu MTs dulu.” Nurul mencoba menghibur . . .
***
Para santri putri telah berkumpul di
mushola untuk melakukan sholat maghrib. Tinggal menunggu Ummah yang menjadi
imam sholat. Ummah merupakan panggilan untuk Ibu Nyai, Istri Pak Kiai sang Pengasuh
pondok pesantren.
Memang mushola
yang ini khusus untuk santri putri. Terletak di kawasan pondok putri. Mushola
ini tidak hanya untuk tempat sholat, tetapi juga tempat mengaji para santri
putri. Sementara untuk santri putra, mereka tinggal di sebelah barat. Sebuah
tembok besar berdiri kokoh menggaris dari selatan ke utara membatasi pondok
putra dan pondok putri. Penghubung keduanya adalah Ndalem, rumah Romo yai,
pengasuh pondok pesantren.
Seusai sholat maghrib
berjamaah, beberapa santriwati pergi ke Aula. Sebagian dari mereka ada juga
yang bersantai di dalam kamarnya.
“Ayo, Rull,
cepeett . . . !!!” Zahra sudah tidak sabar menunggu Nurul yang masih di depan
cermin membetulkan kerudungnya.
“Sabar, Ra!
Lagian kang Hanif pasti juga belum datang.”
Zahra diam
tidak menjawab, hanya tersenyum-senyum memandang aula yang letaknya berhadapan
dengan kamarnya. Jarak aula dari kamar hanya sekitar dua puluh lima Meter ke
arah timur, tepat di selatan mushola.
Lampu di aula
sudah menyala, berarti sudah ada manusia yang datang kesana.
“Yuk . . .” Dari
arah belakang Nurul menggandeng tangan Zahra menuju ke Aula.
Part 2 (Kang Hanif)
“Assalamu'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.”
Suara khas yang
merdu itu senantiasa memberi salam di aula pondok putri setiap Senin malam
sehabis maghrib.
“Wa'alaikumussalamu
warohmatullahi wabarokatuh.” para santriwati menjawab dengan antusias.
Ada tujuh puluh
santriwati di dalam aula saat ini. Zahra dan Nurul ada di dalamnya. Zahra duduk
di deretan pertama baris kedua dari depan, sementara Nurul ada di baris depan
bagian tengah. Semua santri duduk membentuk barisan menghadap ke utara sambil
memegang Al-Qur'an di tangan masing-masing.
Ada sembilan
orang dalam satu barisan, jadi ada delapan barisan, tetapi di barisan paling
belakang cuma ada tujuh orang.
Di depan
barisan, seseorang duduk beradu muka dengan para santriwati. Seorang santri
putra, satu-satunya. Nurul dan Zahra memanggilnya Kang Hanif. Nama panjangnya
adalah Hanif Kholilullah.
Sudah tiga kali
pertemuan latihan Qiro'at, Hanif menjadi pengajarnya. Dia memang diminta Pak
Syarif, pengajar aslinya untuk menggantikannya, karena beliau masih berada di
tanah suci untuk menunaikan ibadah umrah.
Setelah
mengucapkan salam, Hanif memulai pembelajaran Qiro'at itu dengan Muhadoroh
memberi hadiah Fatihah tiga kali. Tidak lupa membaca basmalah bersama-sama.
Kemudian mulailah ayat-ayat Al-Qur’an dilantunkan dengan indah. Latihan Qiro’at
itu terus berlajut hingga selesai.
“Suara Kang Hanif bagus ya, Rul?” ucap Zahra
ketika kegiatan selesai dan berjalan kembali ke kamar bersama Nurul.
“Iya, sejak
mengalunkan nada Bayati Qoror tadi, aku sudah kagum dengan suaranya.”
“Hatiku malah
dag dig dug gak karuan, suaranya seindah Bapak Muammar, ya? Ahli Qiro'at itu.
Apalagi ketika sudah mencapai nada tertinggi. Suara Kang Hanif seperti masuk ke
dalam hatiku, oh, Kang Hanif.” Zahra memegang dadanya, barakting seperti orang
yang sedang kasmaran.
Nurul
terpingkal-pingkal melihatnya, Zahrapun ikut tertawa. Memang benar yang
dikatakan Zahra. Ketika Kang Hanif melantunkan nada Bayati Jawabul Jawab tadi,
nada tertinggi, Nurul sampai sesenggukan menahan tangis. Suara indah ketika
membaca Al-Qur'an memang bisa menggetarkan jiwa.
“Sudah jangan
tertawa terus, yuk sholat isya' dulu!” tangan Nurul sudah memegang mukena dan
segera menarik lengan Zahra yang dari tadi tertawa.
“Ayuk . . .” Zahra
berjalan mengikuti tarikan lengan Nurul keluar kamar, tangan satunya segera
menyambar mukenanya yang tergantung di dekat pintu. Keduanya lalu pergi ke
mushola untuk menunaikan sholat isya'.
wes terbit durung novele iki
ReplyDelete