Touring ke Pare, Pondok Pesantren Fathul 'Ulum Kwagean.
Kamis, 12 Desember 2013.
Udara pagi ini cukup bersahabat. Mentari bersinar cerah membelah ufuk timur
membagikan kehangatan pada bumi. Hiruk pikuk di Kampung inggris, Pare, Kediri
berjalan normal-normal saja. Para muda-mudi yang hilir mudik pulang dan pergi
kursus tampak menyungging wajah-wajah ceria. Pagi ini memang cerah, hujan yang
biasanya datang kini tidak turun. Aku pun santai menyusuri Jln.Flamboyan dengan
motorku pelan. Tujuanku adalah desa Lamong, di rumah saudaranya Mufid, tempat
para sahabatku menunggu. Namun aku sempatkan mampir di DEC sejenak untuk
mengklarifikasi jadwalku. Lamong terletak di timur kota Pare, aku memilih akses
Jln.Brawijaya setelah keluar dari Jln.Flamboyan langsung menuju Lamong.
“Assalamu’alaikum.” Suaraku pelan di depan pintu.
“Wa’alaikumussalam, monggo masuk.”
Seorang kakek dengan tongkat hitam mempersilahkan ku masuk. Kukira dia masih
Pak denya Mufid. Wajah-wajah ramah segera menyambut ketika sepenuhnya diriku
sudah berada di dalam rumah itu. Aku menyalami mereka satu-persatu.
“Ayo kebelakang, tumut sarapan!” perempuan berumur memakai kaca mata
meminta ku kebelakang, ke dapur untuk bergabung dengan teman-teman yang sedang
menikmati sarapan.
Di belakang, empat pemuda yakni Mas Duhron, Mufid, Ikrom, dan adikku Yasin
sedang konsentrasi pada piring masing-masing. Menikmati nasi dan beberapa lauk
yang asapnya masih mengepul hangat. Setelah meletakkan tas, akupun bergabung
dengan mereka. Menemani sarapan pagi yang tidak biasa. Sarapan pagi di desa
Lamong, Pare, Kediri. Namun, aku hanya meminum beberapa teguk air, aku sudah
sarapan tadi di Dusun Mangiran. Setelah selesai kami kembali ke ruang depan,
duduk-duduk.
“Mari iki mlaku-mlaku nang ndi, Ayo!” ajakku kepada semuanya.
“La penak’e nang ndi?” Seru Mufid sambil menghembuskan asap Gudang garam
merah yang tadi dihisapnya.
“Awakmu bener-bener gak enek acara to, Khib dino iki?” Mas Duhron
mencondongkan wajahnya ke arahku dengan pandangan menyelidik.
“Gak enek, santai.”
“Kuwi bendino yo ngono kuwi, Mas. Wira-wiri.” Yasin menimpali sambil
mengepulkan asap dari mulutnya, tangan kirinya memainkan sepuntung Gudang garam
merah yang baru disulut.
“Oo layakne pengen muleh ngetan.”
Aku tersenyum, tebakan Mas Duhron hampir benar.
“Piye, mari ngene neng Surowono, terus Tegowangi, terus Masjid An-nur.” Aku
menyarankan beberapa tempat sambil memandang wajah mereka satu persatu meminta
persetujuan.
“Manut wes, seng penting engko mampir ngrasakne seng sak MB kuwi, lo.”
Ikrom memberikan pendapatnya. Yang lain diam saja dengan muka pasrah.
Sepertinya mereka punya pendapat yang sama dengn Ikrom.
“Oke, Ayo berangkat!”
Melalui desa Canggu kami berlima berangkat menuju Candi Surowono, Candi
yang kami ketahui merupakan tempat bersejarah, Candi yang sering disebut-sebut
Candi Sorabana dalam sandiwara Radio Tutur Tinular karangan Bpk. S. Tidjab.
Tak perlu waktu lama kami telah sampai di Surowono. Kami masuk ke area
Bangunan Candi yang sudah tidak berbentuk. Tumpukan batu-batu andesit yang
tertata, kukira memang Candi ini sudah runtuh, kemudian sisa-sisa batu andesit
itu ditata sedemikian rupa. Kecuali masih ada satu tumpukan besar yang di
atasnya seperti gelanggang pertarungan. Yang ini masih asli. Mungkin di sinilah
dulu Mpu Tong Bajil dan Pendekar Loe bertempur. Kami pun berfoto-foto narsis di
sini.
Dari Candi Surowono kami melanjutkan perjalanan menuju Candi Tegowangi,
Candi ini terletak ke arah Barat dari Candi Surowono. Di sini tidak begitu
lama. Sama dengan Candi Surowono, Candi Tegowangi ini merupakan tumpukan
batu-batu andesit.
Tujuan berikutnya adalah Mak Ketan, sebuah warung yang menunya Ketan,
warung ini cukup populer di kalangan pelajar Kampung Inggris. Perjalanan
melewati Jln. Anyelir sebagai pusat Kampung Inggris. Lewat depan BEC mengarah
ke timur lurus lalu belok ke utara dan kemudian belok kanan masuk ke persawahan.
Sampailah di Mak Ketan. Menikmati segelas Es Susu hangat dan gorengan penawar
lelah setelah keliling Candi di seputaran Badas-Pare. Setelah dirasa cukup kami
bergegas menuju Masjid Annur. Di sini kami benar-benar istirahat. Kamar kecil
adalah tujuan pertama ketika sampai di masjid ini.
***
Tengah hari menjelang sore, kami sudah berada di Kwagean. Duduk santai
menikmati segelas teh yang di suguhkan Mb’ Nis. Aku datang bersama istriku. Kami sedang berada di rumah Mas Abid, orang
yang telah menjadi saudara. Istrinya, Mba’ Nis-lah yang menolong kami mendaftar
mengikuti Ijazah kubro yang di Ponpes Fathul ‘Ulum Kwagean, Krenceng, Kepung,
Kediri. Karena tempat tinggal beliau yang dekat dengan pesantren. Setelah
mengganti uang pendaftaran, kami pun berpindah tempat ke Saung pondok pesantren
tempat tinggal Mahali dan Hanif selama nyantri di sini. Dua orang inilah yang
kami kenal di Pesantren ini. Mereka dari Banyuwangi juga, bahkan dari Sukorejo,
satu desa dengan kami.
Aku, Mufid, Mas Duhron, Ikrom, dan Yasin istirahat di Saung yang kami
menyebutnya ‘Angkring’. Kami ditemani Mahali, Hanif sudah pergi bertugas mendaftar orang-orang
yang mau ikut Ijazah kubro.
Sehabis Isya’ Ijazah Kubro pun dimulai, namun masih berupa
pembacaan-pembacaan Sullamul futuhiyat. Mahali, Yasin, Mas Duhron dan aku
jalan-jalan ke area pondok yang dekat Ndalem. Sementara Mufid dan Ikrom
beristirahat di Angkring. Setelah agak malam, ketika Romo Kiai Hannan naik ke
mimbar, barulah kami semua berkumpul di masjid. Ratusan orang berkumpul di sana
dan Ijazah Kubro pun dimulai. Ijazahan berlangsung sampai sekitar pukul 00.00.
Setelah selesai kami kembali ke Angkring. Aku sendiri segera tertidur di sana.
Tidak tahu teman-teman yang lain, sepertinya mereka masih mau ngopi. Sementara
istriku malam ini menginap di rumah Mba’ Nis.
Post a Comment for "Touring ke Pare, Pondok Pesantren Fathul 'Ulum Kwagean."