Ketika Senja Berkata Cinta Part 6
Part 6 (Bunga-bunga cinta)
Sepi semakin
meraja tatkala malam telah sampai di puncaknya. Angin malam yang terkenal kejam
berhembus teratur menembus semua ruang di desa Blokagung. Angin itu menembus
sela-sela daun, sela-sela pohon, sela-sela ranting dan sela-sela rumput yang
semuanya sudah akrab dengannya. Suara binatang malam yang bersaut-sautan,
seakan berlomba memperindah warna malam. Angin malam dan Suara binatang itulah
yang sesekali dinikmati oleh Hanif yang sedang terdiam di depan Jendela
kamarnya. Kamar Hanif tepat berada di timur persawahan. Jika jendela kamar
dibuka maka akan terlihatlah sawah yang meluas. Dan jika malam seperti ini
sawah itu ramai oleh suara-suara serangga sawah.
Malam ini,
sawah yang menghampar beserta suara-suara serangganya itu terasa indah di
hatinya. Semuanya terasa menenangkan ketika direnungkan.
Hanif memang
sedang sangat bahagia. Hingga apapun yang ditatapnya juga seakan ikut bahagia.
Meski masih ada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, tapi minimalnya
jawaban-jawaban dari pertanyaan itu sudah dapat dibayangkan. Semua rahasia
sudah dapat ditafsirkan. Getaran-getaran aneh yang muncul ketika melihat Nurul
malam Selasa lalu. Ketika dia mengajar Qira'at. Ketika dia melantunkan surat
Ar-Rum ayat 23 dengan nada Bayati Qoror Jawabul Jawab. Dia begitu terpesona.
Baru sekali ini dia mengajar dan melihat seorang santriwati menangis karena bacaan
Al-Qur'an. Jika hati seseorang sudah bisa tersentuh oleh ayat Al-Qur'an,
pastilah hatinya sangat lembut, dan tidak jauh dari ketaqwaan.
Saat itu juga
dia merasa hatinya telah tertawan cinta. Diperhatikan wajah yang dikaguminya
itu. Kemudian setelah selesai mengajar, barulah dia mencari informasi
tentangnya sang penawan hati. Namanya Nurul, ternyata masih keponakan Kang Din
kawan satu kamarnya. Alangkah bahagia hati rasanya, karena dunia rasanya begitu
sempit, hingga dia dan sang penawan hati terasa sudah didekatkan.
Dia juga sudah
berkirim salam. Salam yang diharap mampu menguraikan cinta. Salam yang diharap
mampu mengemukakan cita. Salam yang diharap mampu menjelaskan bahwa dia
mendambakan sosok seorang istri seperti Nurul, sang penawan hati.
Masih lekat di
dalam angan, ketika siang tadi tatkala dia ke rumah sakit bersama Kang Din
untuk menjenguk Zahra, salah satu murid Qira'atnya. Dia mendapat cerita yang
mengejutkan, cerita yang telah berhasil mengubah malam ini menjadi begitu
indah.
Ternyata Zahra
adalah sahabat karib Nurul, sang penawan hati. Zahralah yang menceritakan
semuanya. Ketika dia bersama Kang Din masuk ke ruang dimana Zahra dirawat,
Nurul pamit keluar untuk membeli sesuatu di kantin rumah sakit, sehingga hanya
tinggal 3 orang di dalam kamar. Setelah menanyakan bagaimana keadaanya. Hanif
menjelaskan kalau kedatangannya karena memang diminta Pak Syarif untuk mewakili
menjenguk muridnya.
Zahra adalah
murid kesayangan Pak Syarif. Zahra dinilai memiliki suara yang menurut Pak
Syarif sangat bagus. Tidak heran tadi di telepon Pak Syarif agak memohon supaya
Hanif menjenguk atas namanya.
Ternyata
memenuhi permintaan Pak Syarif ada hikmahnya. Sebelum Hanif pamit untuk kembali
ke pesantren, Zahra bercerita bahwa dia merupakan sahabat terdekat Nurul. Dia tau
apa yang dirasakan Nurul. Dia juga bercerita tentang puisi Nurul, tentangnya
yang berdiri dibalik pintu ketika Kang Din menyampaikan salam Kang Hanif pada
Nurul sewaktu di dapur. Hanif agak malu mendengar itu, tapi memang begitulah
adanya.
Mengingat cerita
Zahra tadi siang, Hanif tersenyum-senyum sendiri. Angin malam yang berehembus
masuk melewati jendela terasa membelai wajahnya. Alhamdulillah, dia merasa
seolah-olah angin itu adalah belaian tangan Tuhan, seperti belaian orang tua
kepada anaknya yang sangat dicintainya.
Alhamdulillah....
***
Hanif
mengelus-elus rambutnya sambil menyanyikan lagu sholawat dengan lirih.
Fikirannya melayang entah kemana. Dia sedang memikirkan bagaimana cara
mengutarakan niatnya ingin mengkhitbah Nurul. Kalau cerita Zahra benar, maka
tidak ada keraguan lagi untuk melangkah lebih maju. Hanif tidak ingin memendam
rasa cinta itu terlalu lama hingga menjadi penyakit. Namun, meski seperti sudah
jelas kalau Nurul juga mencintainya. Hanif masih membutuhkan sebuah ketegasan.
Dia ingin jawaban 'iya' itu keluar dari Nurul sendiri. Tidak lewat perantara
siapapun.
Hanif lalu
mengambil secarik kertas dan sebuah pulpen dari dalam laci. Dia ingin membuat
sepucuk surat yang ditujukan langsung untuk Nurul, sang penawan hati. Meski dia
merasa bukanlah ahli menata bahasa, tapi itu bukanlah penghalang yang
menghentikan niatnya.
“Hanya membuat
sebuah surat, man jadda wajada.” fikirnya.
Lalu Hanif
membuka beberapa kitab tata bahasa. Kitab-kitab yang di dalamnya ada
petunjuk-petunjuk bersyair, menata bahasa, dan kata-kata indah para penyair
arab.
***
“Nif, bangun
tahajjud.”
“Nif, Hanif.”
suara itu sayup-sayup didengar Hanif, tapi begitu jauh, lalu dia merasa sebuah
benda halus menyentuh punggungnya, namun semakin lama semakin kasar benda itu
terasa.
“Blek, blek,
blek.” tiga kali sabetan sajadah yang tidak terlalu keras terasa di punggungnya
ketika Hanif membuka mata. Ternyata Kang Din sedang berusaha membangunkannya.
Hanif lalu
bangun dan pergi ke kamar kecil sekalian ke tempat wudhu. Setelah mencuci muka
dan berwudhu, Hanif buru-buru kembali ke kamar untuk menata kitab-kitab yang
berantakan di mejanya. Dan yang terpenting, Hanif hendak menyelamatkan kertas
surat yang baru ditulisnya.
Setelah
mendapati kertasnya, barulah hanif ingat kalau semalam dia tertidur dengan
hanya meninggalkan tulisan “Bismillahirrahmanirrahim” di suratnya. Hanif
tersenyum sendiri. Kenapa tadi pas wudhu begitu khawatir kalau ada yang masuk
ke kamarnya dan membaca suratnya.
“Nif, sudah sholat?”
“Belum, Kang.”
Hanif menjawab sambil berusaha menyembunyikan kertas yang dipegangnya ke saku.
“Ya, sudah sholat
dulu sana. Ganti aku yang tidur.” selesai bicara Kang Din segera merebahkan
tubuhnya di atas sajadah yang baru dia gelar.
Sementara Hanif
segera menjalankan sholat tahajjud. Meski mata masih sangat mengantuk, Hanif
tetap menjalankannya. Rugi, kalau menyia-nyiakan sepertiga malam yang terakhir
itu, karena saat itulah mustajab-mustajabnya do'a.
Hanif begitu
bahagia, inilah Khalwah, rasa nikmat ketika beribadah. Inilah yang disebutkan
dalam kitab Alhikam itu. Satu-satunya rasa nikmat di surga yang diturunkan ke
dunia adalah khalwah dalam ibadah, yakni nikmatnya beribadah. Nikmat ketika
menyebut nama Allah, nikmat ketika bersujud kepadaNYA, nikmat yang lebih nikmat
dari segala nikmat di dunia.
Post a Comment for "Ketika Senja Berkata Cinta Part 6"