Ketika Senja Berkata Cinta Part 9
Part 9
(Singkong goreng rasa bawang)
“Kalau Bapak
sama Ibu terserah kamu, Rul, apapun pilihanmu Bapak sama Ibu akan mendoakan
yang terbaik buatmu.”
Pak Miftah
berbicara sambil menyeruput teh hangatnya.
“Kamu, kan
sudah dewasa. Menurut Ibu, ya fikirkanlah masa depanmu! Maksudnya, lihatlah
Idah! Putrinya Pak Rusli tetangga depan. Dulu dia temanmu satu kelas to?
Sekarang sudah punya anak. Bu Khot, istrinya Pak Rusli senang sekali mempunyai
cucu. Tapi terserah kamu bagaimana baiknya.”
Mendengar
Nasihat kedua orang tuanya, Nurul diam saja. Keputusan mana yang harus diambil?
Kalau mendengar ungkapan kedua orang tuanya, Nurul menangkap kalau ibunya ingin
dia menikah saja, menerima Kang Hanif sebagai suaminya.
“Sudah, jangan
bingung, kalau kamu ingin berangkat ke pesantren, biar nanti sore Bapak antar.
Sudah satu Minggu kamu di rumah. Kemarin Pak Mahali, ayahnya Zahra itu ke sini
lo, menanyakan kamu, Zahra sudah kangen katanya, sudah kamu baca suratnya?”
Nurul menjawab
pertanyaan Bapaknya dengan anggukan kepala.
“Nurul
berangkat ke pesantren nanti sore ya, Pak?”
Nurul lalu
bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke kamar. Dia merasa lega setelah menceritakan
kepada orang tuanya, tentang perihal surat Kang Hanif dan keinginannya
melanjutkan belajarnya. Nurul sangat bersyukur karena orang tuanya tidak
memberikan keputusan kepadanya, tapi memberi pilihan. Terasa sekali kalau orang
tuanya orang yang sangat bijak. Kini dialah yang harus memutuskan sendiri dan
membuat pilihan.
Semuanya harus
dipertimbangkan. Tentang Adik-adik yang masih sekolah, tentang ekonomi keluarga
yang pas-pasan, tentang keinginan ibu, dan pasti tentang perasaan Zahra. Semua
dia fikirkan.
Lalu Nurul
menulis sebuah surat untuk Kang Hanif, sebagai balasan surat yang kemarin.
***
Menjelang maghrib,
Nurul sudah berada di dalam kamar A13. Kamar tercinta yang penuh kenangan dan
sejarah. Kamar yang menjadi saksi atas tangis dan tawa penghuninya. Mulai hari
ini sejarah akan mulai diukir kembali.
“Lo, Nuruuulll
. . .” Zahra yang baru kembali dari kolam berteriak melihat sahabatnya sudah
ada di dalam kamar.
Mereka berdua
bersalaman lalu berpelukan, menumpahkan rasa kangen yang sudah seminggu ditahan.
“Sama siapa
tadi berangkatnya?”
“Sama Bapak,
sekarang beliau sudah pulang, ni aku bawain oleh-oleh.” Nurul menyodorkan
bungkusan plastik.
“Singkong
goreng rasa bawang?” Zahra segera menaruh handuknya dan berganti baju.
“Iya, tuan
putri.”
“Wah mana, kamu
sendiri yang goreng?”
“Iya, dong!”
Mata Zahra
berbinar. Singkong goreng buatan Nurul lezat sekali, dia pernah mencicipinya
ketika bermain kerumah Nurul. Keduanya lalu memakan singkong goreng itu dengan
lahapnya. Tak lupa Zahra mengundang teman-teman tetangga kamar. A13 pun ramai.
Mereka semua menikmati oleh-oleh Nurul. Sambil makan mereka menanyakan kabar
Nurul, kabar ini dan itu. Mereka juga saling mencandai satu sama lain. Tentunya
sambil melahap Singkong goreng rasa bawang,
singkong kebahagiaan. Singkong yang dipilih Allah Tuhan semesta alam
sebagai perekat persahabatan dan persaudaraan mereka.
***
Di kantor
pondok putra, Hanif sedang berbunga-bunga. Dia mendekap sebuah surat yang baru
saja diberikan Kang Din. Hanif yakin kalau surat berbungkus amplop putih yang
dia pegang itu, hanyalah sebuah penegasan. Semuanya sudah diceritakan Zahra
ketika di RS itu, Hanif begitu yakin.
“Kamu harus
siap lo, Nif, dengan jawabannya, apapun itu.” Kang Din mulai berbicara setelah
menyerahkan surat.
“Iya, Kang.”
Kemudian Kang
Din bercerita bahwa surat itu tadi diberikan oleh Pak Miftah, Ayah Nurul
sendiri.
“Pak Miftah
tadi mengantarkan Nurul ke pesantren. Lalu Nurul menitipkan surat itu kepada
beliau untuk diberikan kepadaku, selanjutnya kuberikan padamu itu.”
“Iya, Kang, terima
kasih sekali.”
“Yang perlu
diingat jika nanti kamu benar-benar menikahi adikku itu, niatlah untuk Itba'
Nabi! Jangan hanya menuruti nafsu cintamu. Karena jika kau salah menempatkan
cintamu, kau tidak akan pernah menemui makna dari hadist Nabi “Almar'u ma'a man ahabba.”
Kau masih ingat
kan cerita seorang A'robi yang datang kepada Nabi? Dia menanyakan tentang hari
kiamat. Saat itu Nabi mengisyaratkan kepada A'robi bahwa dia akan masuk surga
karena cintanya. Cintanya kepada Allah dan Rasulullah.”
“Masih, doakan,
Kang! Aku juga belum tau isi surat ini”.
Maghrib pun
tiba, Hanif dan Kang Din segera mengambil wudhu lalu pergi ke mushola untuk sholat
berjamaah. sebelumnya Hanif telah menyimpan suratnya di lemari di dalam kamar.
Setelah sholat,
Hanif melanjutkan wirid, memperbaharui syahadatnya, memohon ampun atas dosanya,
dan bersyukur karena merasa semua urusannya dipermudah dan ditolong oleh Allah
SWT. Sesudah itu Hanif pergi ke serambi Mushola untuk ngaji “Sorogan”.
Sorogan
merupakan metode pengajaran secara langsung atau bahasa lain disebut” face to face” atau “Talaqqi”. Jadi seorang murid akan menghadap gurunya dengan membawa
sebuah kitab. Guru akan membacakannya dan si murid menyimaknya. Setelah itu
murid mengikuti apa yang dibacakan guru. Guru juga memberikan
keterangan-keterangan jika diperlukan. Sudah sejak masuk pesantren ini Hanif
mengenal Sorogan. Dan sekarang, dia sudah menjadi seorang guru. Pernah suatu
kali ada santri dari kota yang menanyakan perihal Sorogan. Menurutnya Sorogan
merupakan metode kuno dan tidak berkembang. Hanif kemudian mencoba menjelaskan
bahwa Sorogan bukanlah masalah berkembang atau tidak berkembang, tetapi ini
masalah Barokah dan tidak Barokahnya suatu ilmu. Guru Sorogan harus sangat
berhati-hati ketika membacakan dan menerangkan tentang isi suatu kitab. Karena
apa-apa yang keluar dari guru itu akan langsung diterima oleh seorang murid.
Jadi sebelum
menjadi guru, seseorang harus sudah benar-benar faham dan menguasai materi
sorogan. Guru dituntut harus bisa mengukur kemampuan murid, kalau bahasa Kiai,
Guru harus “Ma'rifat” kepada santri. Lebih jauh Hanif menjelaskan bahwa metode
Sorogan juga digunakan di Masjid Nabawy, Madinah, di Aljazair, Marocco, Yaman,
Pakistan dan Afghanistan. Hanif menjelaskan dengan sehalus-halusnya.
Post a Comment for "Ketika Senja Berkata Cinta Part 9"