Ketika Senja Berkata Cinta Part 8
Part 8 (Rasa
rindu)
Sudah 5 hari Nurul
belum juga ada kabar sejak kepulangannya. Di pesantren, Zahra lebih banyak diam
di kamar. Rasanya tidak lengkap kalau tidak ada Nurul. Mandi sendiri, makan
sendiri, hafalan 'Imrity sendiri, berangkat takror dan diniyyah juga sendiri.
“Ada apa dengan
Nurul? Tidak biasanya dia pulang lebih dari tiga hari kalau tidak sedang
liburan. Apa mungkin terjadi sesuatu dengannya?” Zahra berdialog sendiri dengan
hatinya. Mencoba mengobati rasa rindu pada sahabatnya. Andai di pesantren boleh
memegang handphone, pasti dia sudah menelepon atau mengirim pesan singkat
menanyakan kabar Nurul. Atau, kalau rumah Nurul di dekat pesantren, pastilah
dia sudah kerumahnya. Mengajaknya kembali ke pesantren, tidur bersama, belajar
bersama, tertawa bersama dan bersenda gurau bersama setiap hari.
“Assalamu'alaikum.”
Suara salam di balik pintu menghentikan dialog di dalam hatinya.
“Wa'alaikumussalam
warohmatullah.” Cepat-cepat Zahra memakai kerudungnya dan segera membuka pintu
kamarnya.
“Ya Allah....”
Zahra berseru dan segera memeluk perempuan yang ada di depan pintu dengan erat.
Tak lupa dia juga mencium punggung tangan dan kedua pipi perempuan itu.
“Monggo masuk
ke dalam, Bu!”
Zahra
mempersilahkan perempuan muda yang tak lain adalah Ibunya itu untuk masuk kamar
A13.
“Ayah mana, Bu,
kok sendirian?”
“Ayahmu masih
di kamar kecil, tadi kebelet, nah itu, di omongin datang, panjang umur.”
Zahra kemudian
menyalami ayahnya. Mempersilahkan masuk lalu menutup pintu kamarnya. Mereka
bertiga mengobrol di dalam kamar saling melepas rindu. Kedua orang tua dan
seorang anak gadisnya saling menanyakan kabar masing-masing.
“Eh,
ngomong-ngomong dari tadi Nurul kok tidak kelihatan, dia kemana, Ra?” Tanya Ibu
Shofiyah.
“Sudah 5 hari
pulang, Bu.”
“Tumben Nurul
pulang lama. Padahal Ibu bungkuskan nasi banyak lo untuk kalian berdua.” Ibu
Shofiyah menyerahkan sebuah bungkusan pada Zahra. Ibu Shofiyah juga menyerahkan
sejumlah uang untuk keperluan Zahra di pesantren.
“Kurang, tidak?”
“Tidak, Bu, ini
sudah sangat cukup, Zahra sudah belajar banyak dari Nurul. Nurul itu jatah uang
perbulannya tidak ada separuhnya uang ini, tapi dia cukup.”
“Ya sudah, ini
Ibu tambah buat jajan kalian berdua. Ingat, selalu berbagi dengan kawanmu kalau
punya lebih. Terutama Nurul, dia itu baik sekali lo sama kamu. Tambahan uang
ini khusus untuk kalian berdua. Tunggu nanti kalau dia sudah datang!”
Zahra
mengangguk mendengar penuturan Ibunya. Dia sangat bersyukur mempunyai orang tua
yang dermawan. Meski sejak kecil Zahra dimanja, tapi dia senantiasa diajari
untuk suka bersedekah.
“Ayah, kalau
sore ada waktu luang, nggak?” dengan sopan Zahra menanyakan keadaan Ayahnya di
waktu sore.
“Ya, sekitar
jam 4 sore Ayah sudah di rumah, kenapa, Ra?” Pak Mahali balik bertanya sedikit
menyelidik.
“Zahra kangen
sama Nurul, Yah. Tidak biasanya Nurul pulang lebih dari 5 hari kalau tidak pas
liburan.”
“Ya nanti biar
Ayah main ke rumahnya. Sekalian sudah lama tidak ngobrol dengan Bapaknya.” Pak
Mahali seperti mengetahui apa maksud putrinya ini. Sebelum diminta beliau sudah
mengutarakan apa yang diharapkan Zahra.
* Assalamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh
Salam cinta
dariku untukmu sahabatku.
Alhamdulillah
Allah menjawab do'aku, do'a agar rasa rinduku tersampaikan untukmu.
Semoga engkau
di sana senantiasa berada dalam lindungannya, dalam rahmatnya, dan dalam
naungan ridhonya.
Nurul, sudah lima
hari kau meninggalkan kamar kita tercinta ini. Di pesantren ini, ada apa?
Apakah kau baik-baik saja? Semoga...
Kenapa kau
tidak kembali juga?
Apa kamu tidak
kangen dengan dinginnya air kolam pesantren di sepertiga malam?
Apa kamu tidak
kangen dengan 2 ekor cicak di kamar kita? Yang karena cicak itu lalu kau
mendongeng kisah Angling Dharma kepadaku.
Apa kamu juga
tidak kangen dengan sebuah meja kecil di kamar kita? Yang kau sering tertidur
di atasnya ketika kau belajar, hingga akulah yang repot membangunkanmu.
Nurul, segera
kembali ke pesantren kalau urusanmu sudah selesai.
Air kolam,
cicak dan meja kecil setiap bertemu aku selalu menanyakanmu, kenapa kau belum
kembali juga?
Datanglah, Rul!
dan jawab pertanyaan mereka.
Dari sahabatmu
yang sedang memikirkan jawaban untuk air kolam, cicak dan meja kecil.
Zahratul Ulya.
Penjara suci Darul Manan.
*Wassalamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh.
Zahra lalu
melipat kertas itu dan memasukkanya ke sebuah amplop kecil. Surat itu kemudian
diserahkan pada Ayahnya.
“Ya, sudah. Ibu
sama Ayah pamit pulang dulu. Belajar yang rajin!”
“Iya bu,
do'akan Zahra! Semoga menjadi wanita yang solihah”
Ibunya
mengangguk, lalu memeluk Zahra, mencium keningnya berkali-kali sambil
mendo'akan apa yang diminta putrinya. Zahra diam memejamkan matanya, hanya
mulutnya yang lirih mengucapkan lafadz “Amiinn” dan terus mengucapkannya hingga
ibunya melepas pelukannya. Di belakang, Ayahnya juga mengamini do'a Ibunya.
Dalam hati Pak Mahali juga mengharap semoga anak perempuannya bisa termasuk salah
satu dari 3 peninggalan yang disebutkan Nabi. Yang akan mendo'akannya sampai
ketika dia sudah mati nanti.
Zahra mengantar
Ayah dan Ibunya sampai di gerbang pesantren putri. Setelah mengucapkan salam,
Pak Mahali dan Ibu Shofiyah masuk ke mobil kemudian pergi. Zahra melambaikan
tangan sambil berdo'a semoga orang tuanya senantiasa meridhoinya dan
menyayanginya. Zahra selalu ingat hadist Rosulullah yang berbunyi Ridollahi fi ridhol walidaini wa
syukhthullohi fi syukhthil walidaini (Ridho Allah ada pada ridho kedua orang
tua dan murka Allah juga ada pada murka orang tua).
***
Zahra berharap
suratnya segera sampai pada Nurul. Kalau bisa Nurul segera berangkat ke
pesantren agar Zahra mempunyai teman di kamarnya. Zahra sudah merasa kesepian
tanpa kehadiran Nurul.
Nurul memang
gadis yang sempurna. Dia selalu saja memberi jawaban yang memuaskan jika
ditanya. Apalagi dia adalah sahabat yang sangat ramah dan sepertinya tidak
pernah sakit hati. Dia orang yang supel. Diajak guyonan atau bercanda pun dia
sangat menyenangkan. Dia selalu bilang, amal yang sangat utama adalah 'Idkholus
Surur' yakni menyenangkan hati orang lain. Bahkan amal ini lebih utama dari
pada puasa-puasa sunnah.
Dulu, Nurul
pernah main ke rumah Zahra. Saat itu Zahra membelikannya bakso. Dia kemudian membatalkan
puasa senin-kamisnya demi makan bakso yang dia belikan. Bukan perkara baksonya,
tapi Nurul ingin menyenangkan hati Zahra. Dan memang saat itu Zahra merasa
sangat senang ketika Nurul memakannya begitu lahap. Zahra tidak menyadari kalau
waktu itu Nurul sedang berpuasa. Mengenai 'Idkholus Surur', Nurul bilang
mendapatkan keterangannya ketika menyimak pengajian Al-Hikam oleh Kiai
Jamaludin, Tambak beras, Jombang.
“Oh, Nurul,
cepatlah kau kembali.” lirih Zahra mengucapkannya.
Zahra terus
mengingat Nurul, hingga akhirnya dia mengantuk dan tertidur.
***
Setelah mencuci
muka, menggosok gigi dan berwudlu, Nurul berniat untuk istirahat. Meski
fikirannya belum tenang, matanya juga belum mengantuk, tapi dia tetap berniat
akan tidur. Dia khawatir kalau tidak segera memejamkan mata, tidak akan bisa
bangun di sepertiga malam terakhir. Sayang sekali kalau sepertiga malam harus
lewat begitu saja dalam hidup. Karena sekali hidup, manusia hanya diberi jatah
beberapa sepertiga malam saja.
Tapi, lima
belas menit sudah dia di atas tempat tidur.
matanya masih belum tertutup, jangankan tidur, mengantuk saja tidak.
Di fikirannya,
masih ada bayang-bayang sebuah surat yang dibacanya tadi sore, surat yang
seharusnya membuatnya bahagia. Sebuah surat yang ditulis dengan penuh cinta.
Namun dia justru gelisah. Dia merasa belum bisa memenuhi harapan pengirim surat
itu. Dia lalu bangun dari tempat tidurnya dan menyalakan lampu kecil di atas
meja di sebelah tempat tidurnya. Dia ingin menghafal 'Imriti saja. Biasanya
dengan menghafal, matanya akan merasakan kantuk.
Satu, dua, tiga
hingga akhirnya mendapatkan sepuluh Nadhom, namun matanya belum juga mengantuk.
Dia malah asyik dengan Nadhom-nadhom itu. Setelah dirasa cukup dia kemudian
menutup kitabnya, membuka kembali surat yang tadi sore datang di antar Kang
Din.
Assalamu'alaikum
Warohmatullahi Wabarokatuh
Salam
perkenalan, semoga salam ini akan bisa membawa seribu salam di hari berikutnya.
Mohon maaf
sebelumnya jika kedatangan surat ini mengganggu kesibukanmu, bahkan mungkin
mengganggu perasaanmu.
Kutulis surat
ini sebagai pengganti dari rasa takutku untuk menemuimu dan berbicara langsung
denganmu.
Nurul,
Aku adalah
sahabat kakakmu, Kang Din. Aku melihatmu untuk pertama kalinya ketika latihan
Qiro'at. Aku mulai memperhatikanmu ketika air matamu meleleh karna Surat Ar-Rum
ayat 23. Sejak itu kau seperti menjadi 'Ayn Syamsi dalam kisah Syaikh San'an.
Dan aku ibarat San'an yang sangat menderita. Mungkin memang terlalu cepat.
Tapi, apa daya. Aku si San'an sudah merasa bahwa dirinya seperti lilin yang
kehilangan malam karena tidak melihat 'Aiyn Syamsi hingga pagi hari.
Nurul,
Maafkan aku,
aku katakan bahwa aku telah mendengar semua tentangmu, tentang puisimu dari
sahabatmu Zahra.
Nurul,
Seperti halnya
Syekh San'an yang ingin memantaskan diri untuk menjadi cinta 'Ayn Syamsi, Aku
juga demikian. Lelaki yang pantas untuk dicintai seorang wanita adalah
suaminya. Dan aku ingin menjadi yang pantas bagimu.
Nurul,
Tentu kau sudah
mengerti maksudku, Aku akan menanti jawabanmu dengan sabar dan berbesar hati.
Janganlah kau paksa dirimu. Aku harap surat ini tidak mengusikmu.
Wassalamu'alaikum
warahmatullah wabarakatuh.
¤Hanif
Kholilullah
Masih seperti
tadi sore, jantung Nurul berdetak hebat. Kebahagiaan menyusup di hatinya, namun
juga kekhawatiran dan kebingungan memperingatkan nalurinya.
“Apakah ini
rencana Allah? Aku terpaksa pulang dari pesantren karena keadaan ayahku, lalu
surat ini datang .” Nurul bergumam sendiri.
“Apakah ini
takdir Allah jika aku menerima cinta Kang Hanif lalu menikah? Tapi bagaimana
dengan Zahra? Bagaimana 'Imritiku yang belum selesai? Aku masih ingin belajar.
Hanya orang-orang lemah yang mengatakan bahwa semuanya takdir.” Nurul menarik
nafas.
“Aku belum
ingin menikah. Aku ingin menyelesaikan belajarku. Aku harus berusaha untuk itu.
Berusaha sekeras-kerasnya lalu berpasrah sepasrah-pasrahnya tentang hasilnya.”
Nurul terus
berfikir, sambil mengingat-ingat apa yang dikatakan Kang Jauhari, Guru kitab
Nahwunya, “Kita ini golongan yang mengambil jalan tengah. Bukan Jabariyah yang
berpendapat bahwa semua yang dilakukan manusia adalah karena takdir Allah. Baik
ibadah atau maksiat manusia itu sudah takdir Allah. Jadi pencuri, pencopet,
pezina itu semuanya takdir. Kita juga bukan golongan Qodariyah yang berpendapat
bahwa semua yang dilakukan manusia adalah murni karena kehendak manusia, tidak
ada campur tangan Allah.
Kang Jauhari
juga bercerita dahulu ketika Khalifah Umar pergi ke negeri Syam. Di tengah
jalan beliau mendengar kabar bahwa ternyata di Syam telah tersebar wabah
penyakit. Kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke Madinah.
Lalu Abu
Ubaidah bertanya : Hai Amirul Mukminin, kenapa kau kembali ke Madinah dan lari
dari takdir Allah?
Khalifah Umar
menjawab : Aku kembali ke Madinah ini juga takdir Allah.
Fikiran Nurul
berkecamuk, dia lalu merebahkan tubuhnya, matanya terus mengecil dan mengecil
lalu tertidur.
Post a Comment for "Ketika Senja Berkata Cinta Part 8"